Sisi-sisi Eksploitasi Kartu Prakerja

photo author
- Kamis, 23 April 2020 | 01:15 WIB
images (29)
images (29)


Jakarta,Klikanggaran.com - Sebelum mulai, saya tanggapi dulu kesan yang disampaikan beberapa orang bahwa saya mendegradasi profesi coach/trainer dan lembaga pelatihan melalui tulisan-tulisan saya. Saya seolah menjadikan mereka bahan olok-olok. Sama sekali tidak. Saya hormat kepada mereka semua, di mana saja berada. Itu adalah profesi mulia. Apa yang harus saya siniskan dari sebuah pekerjaan yang membuat orang jadi lebih baik dan meningkat kompetensi dirinya?


Saya respons juga tudingan bahwa saya pendukung lawan pemerintah sejak pilpres. Tulisan saya bermotif politik untuk merusak pemerintahan. Tidak benar. Saya tidak pernah peduli dukung-mendukung orang. Benar adalah benar. Salah adalah salah. Prinsip saya, siapa pun yang menang dalam pemilu pasti jadi pemerintah. Saya sekepala dengan John Lennon, masalah utama pemerintah adalah kalau dia tidak mewakili rakyat tapi justru membelenggu—termasuk belenggu nalar.


Masyarakat dibuat bernegara dalam keadaan pingsan. Orang pingsan itu hidup dalam tidak sadarnya. Caranya siuman bukan dengan membelai pipi melainkan harus ditampar.


Program Kartu Prakerja menampar kita semua. Kita harus siuman segera. Akal sehat tak patut dihinakan. 200 ribu saudara kita yang mayoritas sedang babak belur akibat PHK sudah terpilih sebagai peserta Gelombang I (1,8 juta lainnya sedang antre untuk gelombang selanjutnya). Mereka adalah ‘martir’ yang dijadikan kunci pencairan dana proyek pembelian video pelatihan secara massal oleh negara berbungkus nomenklatur ‘bantuan biaya pelatihan' berbiaya Rp5,6 triliun dari APBN.


Banyak hal yang tidak kita lihat, selagi kita pingsan berjamaah, seperti berikut ini:


1. Pembagian dasar. Rp5,6 triliun dibagi 2.000 video (per hari ini menurut Menko Perekonomian) adalah Rp2,8 miliar/video (belum dipotong komisi jasa buat platform digital yang tak seorang pun tahu berapa persennya karena hanya diketahui para pihak yang memegang perjanjiannya) Itu harga satuannya. Pemerintah akan menambah jumlah video itu dan melakukan pelatihan offline jika korona lenyap.


Artinya, jika bertambah 3 kali lipat saja sampai tahun anggaran 2020 berakhir, berarti akan ada 6.000 video/pelatihan. Rp5,6 triliun dibagi 6.000 adalah Rp933 juta. Proyek ini tanpa tender sehingga tidak ada harga pembanding. Tapi segenap rakyat Indonesia bisa melihat sendiri di website 8 platform digital masing-masing (saya tangkap layarkan salah satunya) mengenai jenis dan kualitas videonya. Silakan ditaksir, video macam apa yang per unitnya berbiaya sampai ratusan juta-miliaran itu. Video tutorial ‘Rock Discipline’ bikinan John Petrucci berdurasi 1 jam saja saya rasa tidak semahal itu produksinya.


2. Negara membayarkan Rp5,6 triliun untuk membeli sesuatu yang tidak unik karena video dengan materi sejenis banyak tersedia bebas di platfrom gratis seperti Youtube. Apalagi, video pelatihan yang dijual di platform digital itu ternyata bisa di-download menggunakan IDM dan orang bisa membagikannya. Sudah ada yang melakukannya. Ini namanya megaproyek menggarami laut.


3. Rp5,6 triliun itu bisa dibayarkan bahkan sebelum pelatihan dilakukan, hanya dengan syarat pihak platform digital membuat SURAT PERNYATAAN KESANGGUPAN. Jika ternyata pelatihan tidak dilaksanakan, platform digital mentransfer balik ke kas negara. Itu semua diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 25/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penganggaran, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kartu Prakerja.


Saya kira pedagang abu gosok keliling saja tidak akan melakukan hal seperti itu dalam manajemen keuangannya.


4. Ternyata kurang akurat kalau kita menganggap insentif pasca-pelatihan sebesar Rp600 ribu/bulan (bahasa aturannya adalah insentif mencari kerja) diberikan setelah kita selesai menonton video. Ada tiga syarat uang Rp600 ribu itu bisa cair, yakni mengikuti pelatihan, memberikan ulasan, dan memberikan penilaian. Semacam memberikan rating di marketplace pada umumnya.


Sekilas terlihat baik dan sederhana. Apa susahnya memberikan rating. Tapi, ingat, ini dunia digital. Big data adalah kunci bisnis. Online Rating Review adalah senjata untuk basis data perilaku konsumen yang bisa digunakan untuk menguasai pasar. Istilahnya adalah Electronic Word of Mouth (e-WOM). Platform digital dan provider jasa akan mendapatkan keuntungan dengan rating tersebut mulai dari kredibilitas/reputasi dalam mesin pencari hingga meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk/jasa. Para pelaku pemasaran digital mengetahui seluk-beluk permainan ini tentunya.


Intinya, tak hanya mendapatkan keuntungan berupa komisi jasa untuk platform digital dan penjualan video oleh lembaga penyedia pelatihan, mereka juga mendapatkan data dan kredibilitas yang akan sangat berguna untuk bisnis mereka selanjutnya. Itulah mengapa pasal tentang kewajiban memberikan rating ini sampai perlu diatur dalam peraturan menteri.


Secara psikologis, orang akan cenderung memberikan rating positif, karena uang akan cair setelah peserta memberikan rating. ‘Cerdas’ sekali konseptornya. Sementara dalam pemberitaan bahasanya adalah rating diberikan sebagai masukan untuk perbaikan ke depan platform digital dan lembaga pelatihan. Ini bahasa ramuan tim Public Relation.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: M.J. Putra

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X