Kembali Ke Bumi Pertiwi Dengan Literasi

photo author
- Selasa, 17 Maret 2020 | 16:52 WIB
Soffa Ihsan
Soffa Ihsan


Jakarta,Klikanggaran.com - Wabah corona yang sudah ditetapkan sebagai pandemi yang berarti bersifat mondial seakan telah ‘menghijab’ geliat WNI eks Suriah yang tengah ramai diributkan. Kini nyaris tak terdengar pembicaraan ataupun teriakan soal pemulangan WNI Eks Suriah. Wajar karena sudah ratusan masyarakat yang terkena corona, sehingga perlu lebih mendapatkan tindakan buru sergap nan sigap.


Namun tanpa mengurangi kewaspadaan terhadap corona, nasib WNI eks Suriah agaknya perlu mendapatkan pencermatan yang serius. Kita tahu, mereka yang dari berbagai negara datang ke Suriah saat dikuasai ISIS dengan berbagai tujuan juga telah menjadi ‘pandemi’ global yang menghembuskan hawa panas-dingin serta menimbulkan dilema dan polemik bertubi.


Corona, virus yang tidak hidup di udara tapi memerlukan medium untuk menempel ini ditakuti karena tiba-tiba menyerang tubuh seseorang dengan indikasi batuk, demam dan sesak nafas yang bisa berakibat kematian. Sementara WNI eks Suriah dikuatirkan bila pulang ke Bumi Pertiwi akan menebarkan ‘virus’ kekerasan atau membangun sel ekstrimisme untuk melakukan tindak terorisme. Apa betul?


Baik corona maupun terorisme memang sama-sama menjadi kecemasan. Mereka yang sudah terjangkiti ‘kuman’ corona dan terorisme berarti telah berposisi sebagai ‘carrier’ yang membawa penyakit dan akan menularkan pada orang lain. Dalam dunia corona, ada istilah suspect, infected dan recovery. Baik masih level ‘terduga’ atau ‘sudah terjangkiti’ perlu mendapat perhatian khusus dengan tindakan penyembuhan (recovery) yang cepat, terukur dan efektif. Makanya ada kebijakan untuk ‘lock down’ atau dikarantina agar tidak menyebar.


Begitupun dengan WNI eks Suriah rasanya berlaku juga tiga tahapan tersebut sebagaimana dalam tahapan corona. Dalam konteks mereka yang disebut ‘returnis’ ini tentu tidak bisa digeneralisasi bahwa mereka semua adalah ‘virus mematikan’ yang mudah sekali menjangkiti masyarakat sebagaimana virus corona. Bila ditilik dari motivasi mereka yang ke Suriah ini juga bermacam.


Bukan semata hanya untuk menjadi kombatan atau hidup dalam negeri yang bersyariat, tapi banyak sekali yang tujuannya ‘duniawi’ seperti mencari penghidupan yang lebih baik, ingin kuliah gratis dan lainnya.


Melihat suatu ‘penyakit’ dengan ‘manusia’ yang berdinamika tentu sangat jauh beda. Namanya virus semacam corona tak akan mengenal belas kasih. Bila sudah merasuk ke tubuh seseorang akan menggerogoti kesehatan dan menyebabkan penurunan stamina dan bisa membawa kematian. Itupun masih bisa ditangkal dengan ikhtiar penyembuhan melalui medis.


Tetapi, manusia sebagai makhluk yang bisa move on dan berdialektika dengan lingkungan sangat mungkin bisa berubah dan lalu kembali pada jalur fitrahnya yang manusiawi. Pada dasarnya, manusia tidak terlahir radikal, karenanya manusia bisa di-upgrade untuk kembali pada asal muasalnya sebagai makhluk moderat.


Mereka Tak Sama


Siang itu, sekira pukul 11.00 WIB, tetiba di Sekretariat Rudalku kedatangan ‘tamu istimewa’, pria berperawakan sedang, berjenggot, bercelana cingkrang dan berwajah Arab. Dalam hati saya, wah ini orang punya tampang khas ‘Wahabi banget’ yang terkesan seram. Namun setelah berbincang-bincang barulah ketahuan kalau dia orangnya ramah dan terbuka. Namanya Wildan Fauzi Bahresi Al-Qahthoni alias Umair alias Abu Aisyah asal Malang Jatim.


Apanya yang menarik dari pria lulusan UMM jurusan IT dan ingin meneruskan S2 untuk mendalami disiplin ilmu cyber forensik ini? Ya, Wildan pernah selama 7 bulan di Suriah tahun 2014. Dia berangkat ke sana setelah ikut taklim pada Abu Jandal. Dia mengaku awalnya punya motivasi untuk kemanusiaan, ingin membantu rakyat Suriah yang menurutnya sedang dalam kondisi terzalimi oleh rezim Basyar Assad.


Setiba di sana mulanya memang dia lebih banyak berkutat di rumah sakit dan belajar selama seminggu untuk bedah medis. Namun seiring tuntutan keadaan, Wildan pun ikut angkat senjata dengan terlebih dahulu melakukan pelatihan militer (tadrib asykari) selama 2 bulan. Setelah dirasa mampu, Wildan pun terjun di medan perang dengan mengusung bendera Jabhah Nushroh (JN).


Wildan kemudian balik ke Indonesia. Kepulangannya belum sampai pada deklarasi berdirinya ISIS olel Al-Baghdadi tahun 2014. Jadi dia tidak mengalami suasana brutalisme ISIS saat berkuasa. Singkat cerita sepulang dari Bumi Syam itu, dia kemudian ditangkap Densus dan lalu divonis pengadilan 5 tahun penjara, namun hanya 3,5 tahun dia menjalani masa hukuman di penjara Jombang.


Tahun 2019, terhitung baru sekitar 5 bulanan ini dia bebas. Dia kembali ke Bangil di rumah orang tuanya yang punya yayasan anak yatim. Dia pun ikut aktif mengelola yayasan yang didirikan abahnya itu.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: M.J. Putra

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X