Kapitalisme Ala Nadiem Makarim

photo author
- Kamis, 5 Maret 2020 | 11:11 WIB
PicsArt_03-05-11.06.34
PicsArt_03-05-11.06.34


Jakarta, Klikanggaran.com - Mendikbud, Nadiem Makarim, selangkah lebih maju dibanding masa awal jabatannya. Ide menghubungkan dunia pendidikan dan industri berjalan lancar. Belakangan, BUMN diajak mendukung program mahasiswa magang di perusahaan internasional. Cita-cita mengolaborasi kampus nasional dan internasional semakin dekat.


Kata-kata Nadiem Makarim menggema: “penguatan karakter tidak akan terjadi jika mahasiswa hanya berenang di kolam renang. Kita (pemerintah) harus melatih mahasiswa berenang di lautan terbuka, agar tidak kaget dengan apa pun tantangan yang dihadapinya,” (Antaranews, 12/2/2020).


Program Magang Mahasiswa Bersertifikat (PMMB) Batch I 2020 sudah diikuti 4.608 dari 300 kampus, dan melibatkan 124 BUMN. Ini betul-betul mengingatkan pada tulisan Mark Olssen dan Michael A. Peters (2005) dalam Journal of Education Policy, yang berjudul: Neoliberalism, Higher Education and the Knowledge Economy: From the Free Market to Knowledge Capitalism. Pendidikan dan industri semakin lengket.


Langkah Nadiem Makarim dalam melakukan penyatuan dunia pendidikan dan bisnis perusahaan global, terlihat serampangan. Penulis ragu untuk menyebut pendidikan hari ini sebagai sub-sistem ekonomi kapitalis.


Namun begitu, visi pendidikan Nadiem yang berorientasi melayani dunia kerja terlalu vulgar, tampak sekali sebagai wajah lain “kapitalisme” ala Nadiem Makarim. Jika kepentingan industri dan kapitalisme sudah mampu mensubordinasi dunia pendidikan, apakah itu bukan berarti sistem pendidikan kita bercelah?


Kembali lagi ke topik karakter yang Nadiem bicarakan di atas. Penulis teringat pada pelajaran sosiologi tentang teori dramaturgi Erving Goffman. Di panggung depan, Nadiem ingin memagangkan mahasiswa di perusahaan internasional, agar terbentuk jiwa pesaing di lautan lepas.


Di panggung belakang, Nadiem diam-diam ingin : a) memberi tenaga pekerja gratis bagi perusahaan selama 2-3 semester, b) revolusi mental dari mencetak leader menjadi buruh, dan c) mengubah karakter tri darma perguruan tinggi menjadi setaraf Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).


Visi pendidikan perguruan tinggi di tangan Nadiem Makarim sebuah fenomena “kegetiran sosial”. Siapa pun yang mengerti visi pendidikan nasional kita, tentu saja tidak akan ingin mencetak generasi buruh. Kita ingin anak didik kita sebagai inovator, kreator, bukan buruh yang sama sekali tidak punya visi menciptakan lapangan kerja.


Sebenarnya, jika memang tujuan Nadiem adalah terciptanya mental pengusaha, bukankah setiap universitas sudah memiliki pusat studi dan inkubasi ekonominya masing-masing? Mengapa Kemendikbud tidak menggelontorkan dana sebesar mungkin untuk mendanai program-program kampus?


Di lingkungan kampus, mahasiswa dilatih untuk berpikir dan berkarya. Sedangkan magang di perusahaan hanya akan melatih mahasiswa bekerja. Jika Kemendikbud mau turun ke level teknis, bukan konseptual, semestinya cukup memastikan bahwa semua produk dan hak cipta mahasiswa laku dan dibutuhkan oleh dunia industri, sehingga mahasiswa jadi suplaier dunia industri dari dalam kampus tanpa harus keluar magang, apalagi magang 2-3 semester gratis tanpa bayaran. Sedangkan mereka wajib bayar semesteran ke kampus.


Keanehan visi pendidikan Kemendikbud ini menandai Pemerintahan Periode II Jokowi yang akan berakhir 2024 nanti sebagai sumber utama kekhawatiran masyarakat. Bagaimana tidak, kita berharap perguruan tinggi melakukan hal berbeda dibanding pendidikan di sekolah. Sementara di tangan Nadiem Makarim, Kemendikbud diperlakukan ibarat perusahaan Gojek Indonesia, yang memang butuh tenaga-tenaga driver, apalagi gratis atas nama magang.


Peran Hukum dan Idealisme


Michel Rosenfeld (1998) sudah mempersoalkan persoalan hukum yang terjebak di antara persoalan etika dan politik. Di dalam masyarakat plural, di mana nilai-nilai etis, sosial dan politik minus, maka interpretasi atas hukum akan bergelombang terus-menerus. Siapa yang paling berkuasa dan kuat secara modal, dialah pemenang dalam perebutan hak interpretasi (Rosenfeld, Just Interpretations: Law Between Ethics and Politics, Univ. California Press, 1998).


Jika tidak berhati-hati, Kemendikbud akan menjadi perpanjangan tangan kapitalisme global. Anggaran 20% untuk pendidikan dari APBN hanya untuk mencetak buruh-buruh industri; budak-budak kapitalis. Empat tahun ke depan, mentalitas bangsa Indonesia dipenjara dengan nalar materialisme. Uang, pekerjaan, dan kesejahteraan material menjadi orientasi utama kesadaran dan kemanusiaan kita.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X