Kerajaan Bisnis Konglomerat di Bawah Perlindungan Payung BPPN

photo author
- Jumat, 13 September 2019 | 16:00 WIB
bank-thinkstock
bank-thinkstock

Tetapi saat ini, dengan tersebarnya kekuasaan di tangan penguasa-penguasa yang berbeda (dari sistem diktator ke oligarki), tidak seorangpun tahu siapa yang benar-benar berkuasa dan siapa yang tidak. Banyak pengamat menganggap Bob Hasan sebagai pengusaha elite Orba yang paling tidak beruntung, karena dia berakhir meringkuk di Nusakambangan. Akan tetapi, dilihat dari sisi positifnya, secara tidak langsung dia dapat menyelamatkan diri dari penagih utang dan musuh-musuhnya dengan membayar “semacam uang kemanan” kepada penjaga penjara dan juga tidak perlu terlalu khawatir masalah ketidakpastian baik di bidang social, ekonomi maupun politik!


Di samping itu, banyak pengusaha elite yang mungkin memiliki perusahaan-perusahaan yang dicap pailit secara teknis, tetapi ini tidak berarti mereka sudah keluar dari arena permainan bisnis. Perlu diingat bahwa konsep kepailitan di Indonesia berbeda dengan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat (AS). Dalam kasus AS, ketika suatu perusahaan pailit, maka pemiliknya juga pailit. Akan tetapi untuk kasus di Indonesia, jika suatu perusahaan dilikuidasi, pemiliknya mungkin tetap kaya raya. Contoh yang paling mencolok dalam hal ini adalah Sudono Salim.


Dalam hubungan dengan kerajaan-kerajaan bisnis Orba, banyak dari bekas anak-anak perusahaan dan asetnya yang tetap berjalan baik. Ada tiga faktor yang menonjol yang perlu disoroti terkait dengan kondisi bekerjanya kerajaan-kerajaan bisnis tersebut. Pertama, perusahaan-perusahaan ini dapat terus beroperasi terutama karena didukung oleh pasar setempat dan dalam beberapa kasus ada permintaan dari pasar internasional terhadap produk mereka. Kedua, apa yang menjadi keprihatinan yang besar pada saat ini adalah terabaikannya produktivitas dari anak-anak perusahaan ini dikelola oleh BPPN. Masalah ini, dapat digambarkan dengan perumpamaan bahwa “BPPN adalah seperti kapal kecil yang membawa terlalu banyak muatan.” Ditambah rentang kendali yang terbatas adalah sangat jelas bahwa BPPN tidak memiliki kemampuan organisasi, sumberdaya dan orang-orang yang secara efisien mengelola perusahaan dan asset yang ada.


Oleh karena itu, sangat tidak masuk akal untuk mengharapkan BPPN mampu secara tepat dan teliti mengawasi perusahaan-perusahaan ini dan aset lainnya. Kewajiban utama BPPN adalah memenuhi tanggung jawab keuangan dalam hubungannya dengan APBN. Namun begitu, kita harus memperhitungkan pula bahwa aset-aset di bawah pengawasan BPPN ini dulu terlibat dalam gejolakmark-up yang terjadi di sektor swasta. Kalau dulu almarhum Prof. Sumitro Djojohadikusumo menekankan parahnya kebocoran ekonomi dalam sektor pemerintah (30%), kebocoran yang terjadi di sektor swasta mungkin jauh lebih besar dan pada gilirannya telah membuat sistem ekonomi Indonesia lebih rentan dan rapuh lagi sebelum diterpa krismon.


Ketiga, salah satu dampak krisis yang paling besar sampai saat ini adalah kepemilikan dari usaha-usaha konglomerat ini jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha asing. Akhir-akhir ini istilah “asingisasi”, baru muncul dalam kosakata bisnis Indonesia untuk menggambarkan penjualan perusahaan-perusahaan tersebut kepada orang-orang asing, telah menjadi cara terbaik untuk restrukturisasi hutang nasional dan pemulihan ekonomi pada umumnya dan sistem perbankan nasional. Asingisasi menyiratkan bahwa pihak asing (konsorsium bisnis atau perusahaan-perusahaan multinasional) siap membeli aset-aset Indonesia yang masih produktif dengan harga yang sangat murah. Contohnya, akibat krisis, keluarga Bakrie yang dinahkodai oleh Aburizal Bakrie telah dipaksa untuk menyerahkan sebagian besar kepemilikan kelompok Bakrie  kepada penanam modal asing, yang pada akhirnya mengakibatkan keluarga Bakrie sebagai pemilik saham minoritas dengan hanya 3-4 persen bagian. Contoh lainnya kerajaan bisnis besar seperti kelompok Salim dan Astra harus menjual saham anak-anak perusahaannya kepada mitra asing (spin-off). Spin-off tersebut tercermin pula kelompok-kelompok usaha ini aktif terlibat dalam proses rasionalisasi dan restrukturisasi struktur organisasinya, walaupun struktur konglomerat masih akan tetap paling dominan dalam perekonomian Indonesia.


Quo Vadis


Untuk tiga tahun pertama sejak munculnya krismon, dengan sangat disesali perlu diakui bahwa proses restrukturisasi dan rehabilitasi dapat dianggap sebagai suatu kegagalan yang sangat mengecewakan. Hal ini akan mempunyai dampak yang tragis terhadap masa depan Indonesia. Semakin lama Indonesia keluar dari masalah ekonomi dan keuangan ini, semakin besar biaya yang harus ditanggung oleh rakyatnya. Dengan besar lebih dari tiga perempat bagian dari ekonomi Indonesia dalam proses restrukturisasi dan rehabilitasi tidaklah mustahil merusak masa depan perekonomian Indonesia.


Pemerintah tampaknya tidak menganggapi masalah proses restrukturisasi dan rehabilitasi ini sebagai sesuatu yang serius. Jadi, pemerintah cenderung untuk menambah jumlah BUMN yang diswastanisasi—dengan jumlah keseluruhan 185 dan nilainya sekitar Rp 850 triliun atau 89,5 miliar dolar—  ke dalam piring yang telah penuh dengan masalah yang belum terselesaikan. Apakah tidak lebih baik apabila kita menyelesaikan terlebih dahulu masalah-masalah yang ada dalam BPPN sebelum menghadapi tantangan hebat lain seperti swastanisasi BUMN setelah habis masa tugas BPPN 2004. Dengan melihat kinerja BPPN selama ini, tidak mungkin sesudah amanat BPPN selesai, tidak akan ada modifikasi dari instansi-instansi BPPN yang ada atau badan lain untuk menyelesaikan sisa-sisa tugas BPPN itu.


Dapat disimpulkan bahwa ada suatu keniscayaan terkait dengan bentuk organisasi usaha seperti konglomerat akan bangkit lagi di Indonesia pasca krismon, dengan sebagian mereka adalah pemain warisan dari orang-orang orba yang mampu bertahan hidup, dan secara umum jumlah penanaman modal asing akan meningkat secara mencolok. Dengan perkataan lain, konglomerat yang paling kuat akan tetap hidup, sedang konglomerat yang lebih lemah akan terkubur, yang pada gilirannya, tingkat konsentrasi ekonomi mungkin tumbuh. Dalam konteks ini yang semestinya dipersoalkan dalam wacana nasional sekarang ini adalah perdebatan normatif tentang landasan pemikiran yang melatarbelakangi sistem perekonomian Indonesia.


Ditulis oleh Jeremy Mulholland (University of Melbourne) dan Ken Thomas (La Trobe University)


Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: M.J. Putra

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X