Pada ‘maqom’ UAS ini sepertinya tafsir ulang atas teks-teks ‘langit’ sudah membatu karena dianggap sebagai dogma (qoth’iyud dilalah), tidak perlu lagi ikhtiar untuk menangkap kembali makna dan pesan substansial yang terkandung didalamnya. Padahal, teks (nushush) adalah fakta dinamis dan historis yang dalam ungkapan Hassan Hanafi mempunyai tudung nilai-nilai referensial yang dihayati bersama oleh masyarakat (makhzun nafsi inda al-jamahir). Tak ayal, selalu ada kuasa tafsir dalam sirkulasi teks.
Bagi seseorang yang ‘haus ilmu’ plus non partisan, dia tidak berhenti pada komentar UAS. Dia akan mencari bacaan lain yang lebih mendalam. Tidak berhenti pada pemaknaan harfiyah, tapi pendalaman materi untuk menyingkap dibalik ‘teks’. Ini bukan soal debat klasik antara wahyu dan akal. Ini lebih pada soal ‘pencarian’ karena dihinggapi rasa ingin tahu yang menyala-nyala. Jadi sah dan niscaya untuk melanjutkan perburuan makna.
Bagaimana dengan teori Mannheim? Yaiyalah, teori Mannheim ini bisa dipakai guna melihat bagaimana seorang penganut teguh (true believer) ‘merumuskan’ cara berfikir dan bersikap. Mereka tak mempercayai pendapat lain yang mengkritisi karena apa yang diketahuinya sudah menjasad menjadi ‘idiologi”. Berarti ini sudah membaku dan subyektif. Pengetahuan yang sudah menjadi idiologi akan kebal kritik. Artinya menjadi tertutup, tidak ada lagi ruang untuk mengulik-uliknya lagi. Bila sudah begini, maka yang mumbul adalah pola pikir dan sikap yang rentan dari tindakan atau aksi yang diluar rasional.
Bukankah sekarang ini sering kita jumpai mereka yang sudah kadung kesengsem pada tokoh, gerakan atau jamaah tertentu akan ‘tertutup’ dari kritik diluar kelompoknya. Pada Pilpress 2019, sungguh kita saksikan ketegangan antar kedua kubu yang sama-sama merasa menggenggam ‘kebenaran’. Akibatnya, kerusuhan 22 Mei 2019 menjadi bukti pengetahuan yang membeku menjadi idiologi lalu membuahkan anarki. Hingga paska pilpres suasana gesekan masih terpampang. Bahkan para pengikut ‘sambung menyambung menjadi satu’ dalam wujud gerakan dan kegiatan. Di medsos masih riuh dengan saling cacimaki. Di grup Wassapp menghujam gombalan yang saling ‘memiringkan’ pilihan. Yah, dalam banalitas kita saat ini ada semburan ‘tsunami’ narasi kosong, kasar dan ketidakwarasan.
Sampai di sini saja. Saya hanya ingin ‘sharing dan saring’ dalam menyikapi gegeran yang tengah mananjak ini. Saya hanya orang awam yang kebetulan cinta literasi. Paling tidak, masih bisa membusungkan dada, bukan ‘awam kosongan’ , tapi awam yang masih punya gairah militan untuk menggali pengetahuan melalui melek literasi. Rumusnya, biar ‘mati gaya’, namun jangan sampai ‘mati nalar’.
Sebuah Opini oleh: Soffa Ihsan