Politisi selalu ingin berenang di air keruh. Dengan demikian tidak kelihatan ke mana kaki dan badannya bergerak.
Sikap yang sama sebenarnya dimiliki oleh Gubernur Bali. Ketika berkampanye untuk gubernur, dia berjanji menolak reklamasi Teluk Benoa.
Dalam satu berita tahun lalu, I Wayan Koster, sang Gubernur, mengatakan Pemerintah Provinsi Bali menolak reklamasi. Tapi, dia berhenti sampai di sana. Dia tidak mau kalau Perpres No. 51/2014 yang mengubah status Teluk Benoa dari kawasan konservasi ke kawasan pemanfaatan itu dicabut.
Logikanya? "Perpres itu tidak menyuruh reklamasi. Jadi mau ada Perpres, mau tidak, kalau gubernurnya mengatakan tidak ada reklamasi, ya maka tidak dilaksanakan," ujarnya.
"Perpres itu memberikan ruang saja, kalau mau dilakukan reklamasi, boleh. Tapi, bukannya menyuruh. Jadi, mau direklamasi, memanfaatkan ruang yang disediakan atau tidak, itu ya tergantung pengambil kebijakan," katanya.
Begitulah politisi, Sodara-Sodara. Mereka ingin kita mempercayainya. Bukankah lima tahun terakhir ini tidak ada reklamasi? Demikian kata Jokowi. Gubernur selaku pengambil kebijakan menolak reklamasi! Itu kata Gubernur.
Nah, persoalan yang paling substansial di sini dikuburkan dalam-dalam.
Kalau tidak ada reklamasi lima tahun belakangan ini, mengapa Perpres No. 51/2014 yang menjadi sumber masalah itu tidak dicabut? Bukankah Perpres ini yang memberikan jaminan (guarantee) dan payung hukum JIKA reklamasi harus diadakan?