Pilgub Sumut : Megawati Tunjukkan Cermin Inner Circle Politiknya sebagai Anti Militer

photo author
- Senin, 8 Januari 2018 | 05:50 WIB
images_berita_2018_Jan_Djarot
images_berita_2018_Jan_Djarot

Klikanggaran.com (08-01-2018) - Penunjukan Djarot Saiful Hidayat oleh PDIP sebagai calon Gubernur Sumatera Utara merupakan hal yang biasa bagi orang awan. Mungkin sebagian orang berpikir bahwa Djarot Saiful Hidayat bukan kader biasa. Beliau Kepala Daerah 2 peride di Blitar, juga pernah menjadi Wakil Gubernur dan Gubernur di DKI jakarta.

Pertanyaan politisnya, kalau sudah berprestasi kenapa tidak menunjuk Djarot Saiful Hidayat sebagai calon Gubernur Jawa Timur, kampung halamannya?

Megawati memiliki kalkulasi politik tersendiri bahwa bagi masyarakat Jawa Timur Djarot Saiful Hidayat bukan siapa-siapa? Beliau adalah mantan Walikota terkecil yang terletak dibawah kaki Gunung Kelud, tidak memiliki sumber daya alam, dan bahkan tingkat ketergantungan (ratio dependentia) tertinggi di Jawa Timur bahkan mungkin di Indonesia. Demikian pula Djarot juga menjadi Wakil Gubernur dan Gubernur DKI Jakarta, bukan karena prestasi politik, namun karena menerima durian runtuh dalam masa bhakti seumur jagung.

Partai PDIP perjuangan adalah partai yang pandai bersandiwara, cenderung melodramatik. Lihat saja akhir-akhir ini, pemimpin-pemimpin partai cengeng, tangis startegi menarik simpati publik Jawa Timur.

Nilai jual Djarot ke Sumatera Utara hanya satu, bahwa Djarot dicitrakan sebagai orang baik, pemimpin yang nyaris tidak bermasalah dan sebagian besar orang awam menganggap bahwa Djarot berprestasi di kabupaten terkenal tempat kelahiran Soekarno. Padahal kota paling kecil di Jawa Timur.

Lantas, apa tujuan utama Ibu Megawati mengutus Djarot ke Sumatera Utara?

Bisa diduga, tidak lain tidak bukan adalah membendung munculnya TNI masuk dalam ranah sipil, bukan karena semata-mata demi kedigdayaan sipil (civilian cintrol). Tetapi, karena Megawati Sukarno Putri menyimpan amarah dan dendam masa lalu terhadap militer.

Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa kelam (noda hitam) karena Suryadi menguasai panggung politik PDI, dimana saat kongres di Medan, Suryadi dibekingi oleh militer. Peristiwa 1996 salah satu puncak dari keberadaan Megawati Sukarno Putri yang selalu berada di bawah tekanan militer sejak masuk dalam panggung politik di awal tahun 1980-an. Untungnya, Megawati dijaga dan diselamatkan oleh LB Murdani yang berkuasa saat itu.

Ketika Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden, Megawati menghadapi problem paling serius di Sumatera Utara, karena tuntutan internasional dan masyarakat terkait kasus Indorayon yang dibekingi tentara. Berangkat dari berbagai pengalaman ini, ternyata di tubuh PDIP tidak menunjukkan simpati terhadap militer, khususnya Angkatan Darat. Rasa kebencian Megawati terhadap militer telah ditunjukkan dengan tidak banyak menampung Pensiunan Perwira Tinggi Militer sebagai kader PDIP, kecuali TB Hasanudin.

Hubungan yang paling tidak harmonis juga ditunjukkannya dengan adanya dendam kesumat Megawati Sukarno Putri pada Susilo Bambang Yudhoyono sebagai politikus yang berasal dari perwira tinggi militer, yaitu terlemparnya Sutiyoso dari BIN dan digantikan dengan Budi Gunawan, orang dekat Megawati. Hampir semua mantan Panglima TNI cenderung kurang harmonis baik dengan Megawati maupun PDIP. Salah satunya adalah kegagalan Jenderal Moeldoko yang cemerlang saat itu untuk mendampingi Joko Widodo sebagai calon Wakil Presiden tahun 2014.

Dengan melihat gambaran tersebut di atas, dapat dinarik kesimpulan bahwa pakem politik Megawati Sukarno Putri sebagai pengendali tunggal PDIP adalah politik anti militer (anti tentara). Dan, itulah iner sircle politik Megawati Sukarno Putri.

Kembali ke Pilkada Sumatera Utara, bahwa perutusan Djarot Saiful Hidayat sesungguhnya adalah PDIP mau membatasi terpilihnya Edy Rahmayadi (mantan Pangkostrad) menjadi Gubernur. Selain mengganggu suara dari suku Batak, juga Melayu dan Jawa, Megawati sangat paham bahwa Djarot adalah orang asing di Sumatera utara. Djarot bukan siapa-siapa dan Megawati juga tahu betul bahwa politisi PDIP dari Sumatera Utara seperti Efendi Simbolon, Mauarar, Sukur Nababan, dan lain sebagainya, pasti tidak senang dengan keputusannya.

Sikap Megawati dan PDIP yang cenderung membatasi atau menghambat munculnya gubernur berlatar belakang militer di Sumatera Utara perlu dipikir ulang, karena bagaimanapun gubernur berlatar belakang sipil cenderung koruptif dan berakhir di penjara. Bahkan tidak menujukkan prestasi dan kinerja yang baik. Apalagi Sumatera Utara yang berada di beranda depan pertahanan baik darat dan utara. Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan negara-negara macan seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan juga Samudra India.

Pangkalan Udara Polonia juga merupakan satu-satunya pangkalan angkatan udara terbesar di Indonesia, yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dan Selat Malaka. Konflik Laut China Selatan, penetrasi Kapital China melalui taipan-taipan hoakiu yang berbasis di Singapura dan Malaysia yang menguasai jutaan hektar di sektor perkebunan di Sumatera, mobilitas barang dan jasa melalui selat Malaka dengan segala kompleksitas persoalan seperti perdagangan manusia (traficking) dan penyelundupan ( smugling). Demikian pula Sumatera Utara dengan tipologi masyarakat yang cenderung keras, transaksional, dan problematik.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Kit Rose

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X