Jakarta, KlikAnggaran.com - Di era globalisasi ini, kebutuhan akan Sumber Daya Alam (SDA) sudah menjadi kebutuhan primer bagi setiap manusia di seluruh dunia. Hampir semua kegiatan manusia di era modern ini membutuhkan SDA, misalnya energi listrik. Mulai dari kegiatan perkantoran, pertokoan, pabrik/industri (dari skala kecil, menengah, dan besar), Mall, rumah tangga, bahkan aktifitas peribadatan pun memerlukan tenaga listrik.
Di samping kebutuhan primer lainnya, listrik sesungguhnya memiliki peranan yang sangat penting dalam menggerakkan setiap aktifitas manusia, terutama dalam menggerakkan roda perekonomian dunia. Tanpa adanya sumber energi listrik yang handal dan memadai, kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kehidupan manusia di masa kini dan mendatang.
Namun ironisnya, di zaman modern seperti sekarang ini listrik masih saja mati. Padahal Indonesia negeri yang kaya akan sumber daya alam. Kekayaan alamnya sungguh melimpah ruah dan beraneka ragam jenisnya. Kita memiliki seluruh sumber energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan semua sektor kehidupan. Mulai dari minyak bumi, gas, air (microhydro), angin, panas bumi (geothermal), matahari, batubara (coal) sampai energi nuklir kita punya.
Selain itu, kita juga memiliki sumber energi alternatif lainnya. Tapi sayangnya, melimpahnya kekayaan alam Indonesia tidak dikelola secara bijak dan penuh tanggung jawab, dan juga tidak memenuhi aspek keadilan bagi masyarakat. Tak pelak, dampaknya Indonesia terus mengalami pemadaman listrik bergiliran yang entah untuk kesekian kalinya dan sampai kapan. Parahnya lagi, di tengah ancaman nyata krisis listrik di Indonesia, pengelolaan listrik oleh PT PLN semakin kurang profesional dan cenderung menisbikan kepentingan rakyat kecil. Krisis listrik, atau bahkan krisis energi yang selalu melanda Indonesia nampaknya sangat serius (Abdul Ghopur, Sumber Daya Alam Indonesia Salah Kelola!, 2012).
Melimpahnya kekayaan alam Indonesia jika dikelola secara baik dan penuh tanggung jawab semestinya tidak membuat penduduk negeri ini menjadi miskin. Namun sayang, kekayaan alam tersebut tidak dikelola dengan bijak, berkeadilan, dan terpadu. Tak pelak kekayaan alam ini pun malah menjadi kutukan sumber daya alam (Resources Curse) dan tidak bisa dinikmati secara murah/gratis oleh rakyatnya yang sebagian besar miskin. Tengok saja faktanya, bahwa tidak semua masyarakat bisa mengakses secara mudah terhadap sumber-sumber energi.
Munculnya kelangkaan serta tiadanya jaminan ketersediaan pasokan minyak dan gas (Migas) di negeri sendiri, merupakan kenyataan paradoks dari sebuah negeri yang kaya sumber energi. Hal ini disebabkan kebijakan energi nasional dikelola tanpa arah, antara satu sektor kebijakan dengan sektor lainnya seolah tidak terkait satu sama lain. Begitu juga belum adanya payung hukum (undang-undang induk energi) yang bisa mengatur kebijakan pengelolaan energi nasional secara komprehensif.
Di tengah kelangkaan energi di dalam negeri, pemerintah dan pengusaha justru mengeksplorasi sumber-sumber energi secara membabi-buta demi memenuhi kepentingan pihak-pihak asing. Banyak oknum pejabat baik dari kalangan pemerintah, DPR, maupun spekulan minyak dan gas (Migas) yang berburu rente migas. Migas hanya dijadikan komoditi dagangan belaka oleh para oknum pejabat demi keuntungan pribadi. Banyak kontrak-kontrak migas yang merugikan keuangan negara dan kepentingan masyarakat dan bangsa. Alasannya sederhana, harga komoditas tersebut sedang melejit di pasar global. Padahal kita tahu banyak rakyat miskin di negeri ini yang sangat membutuhkan minyak, gas, dan listrik untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan penerangan. Tata-kelola energi nasional yang demikian ini mencerminkan ketidak-berpihakan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Krisis energi yang selama ini digembar-gemborkan sesungguhnya bukan karena persediaan energi yang tidak cukup. Ataupun karena cadangan persediaan energi yang tinggal sedikit. Melainkan karena pengelolaan energi nasional yang kurang baik dan terpadu.
Hal ini disebabkan sekali lagi, belum adanya “UU Induk Energi”/”Buku Induk Energi/SDA” yang menjadi rujukan utama dalam menangani persoalan-persoalan Sumber Daya Alam di Indonesia. Hal ini menjadikan tata-kelola energi nasional begitu semrawut, bahkan berantakan. Antara satu sektor dengan sestor lain dalam persoalan pengelolaan energi seolah tidak terkait sama sekali (Abdul Ghopur, 2012). Pemerintah seakan belum memiliki cetak biru (blue print) atau landscape pengelolaan energi nasional yang terpadu. Yaitu, suatu tata kelola energi secara strategis yang memperhatikan pemetaan kebutuhan energi tiap wilayah. Sebab ukuran kebutuhan energi tiap-tiap wilayah di Indonesia tentu berbeda-beda.
Perbedaan kebutuhan energi tentunya akan mempengaruhi tingkat konsumsi energi di tiap daerah. Penghitungannya dapat dilakukan melalui berbagai cara misalnya:
Pertama, pemerintah harus menghitung/memetakan daerah/wilayah mana saja yang memiliki cadangan atau pasokan ketersediaan energi yang melimpah dan yang tidak melimpah.
Kedua, pemerintah harus mengukur daerah atau wilayah mana saja yang mengonsumsi energi (listrik/BBM) paling besar (boros).
Ketiga, pemerintah juga harus bisa memetakan daerah mana saja yang memilliki tingkat kebutuhan konsumsi energi yang cukup tinggi ataupun rendah (misal, diukur dengan perkapita).
Keempat, wilayah/pulau mana saja yang di wilayahnya terdapat banyak industri-industri atau tingkat pertumbuhan infrastruktur tinggi yang membutuhkan pasokan energi (listrik, gas, dan BBM) sangat besar. Pengelolaan pemanfaatan energi di perusahaan-perusahaan ini bisa dilakukan dengan meng-audit konsumsi energi di tiap perusahaan dan kemudian menggunakannya secara proporsional. Konsumsi energi listrik bisa dikurangi atau dihemat tanpa harus mengurangi produktivitas. Caranya, dengan menggunakan listrik secara efektif. Kalangan industri harus mampu mengontrol secara ketat konsumsi listriknya baik untuk menyalakan mesin produksinya maupun untuk keperluan penerangan. Dengan cara ini dipastikan ada persentase penghematan yang terukur. Meski persentase penghematannya “mungkin” tergolong kecil, namun jika dilakukan secara kolektif hasilnya akan maksimal. Selain itu hal tersebut bisa membuktikan bahwa penghematan konsumsi listrik seperti yang digariskan pemerintah bisa terus dilakukan tanpa harus mengurangi produktivitas.
Kelima, bagaimana sesungguhnya pengalokasian energi antar wilayah terjadi, dan dialokasikan ke mana saja, apakah tepat sasaran atau tidak. Ini terkait masalah transparansi pengelolaan energi pemerintah terhadap masyarakat.