Pancasila Jalan Tengah Bernegara

photo author
- Selasa, 31 Mei 2016 | 10:20 WIB
images_berita_ideology-is-the-source-of-political-gridlock-58326
images_berita_ideology-is-the-source-of-political-gridlock-58326

 Pancasila Jalan Tengah Bernegara

Oleh: Abdul Ghopur

 

Indonesia merupakan negara besar; terdiri dari beragam etnis, suku, ras, bahasa, agama dan budaya. Spesifikasi dan keunikan Indonesia tersebut merupakan kekayaan bangsa yang patut dibanggakan dan disyukuri, serta harus dijaga sekuat-kuatnya. Oleh sebab itu setiap warga negara–bangsa Indonesia  wajib mengelola dan menjaga pluralitas tersebut agar mendatangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, harmonis dan sejahtera–berkeadilan.

 

Kekayaan bangsa Indonesia di atas (baik secara sosiologis, antropologis maupun geografis) sudah selayaknya dikelola secara bijak, bertanggungjawab dan berkeadilan. Namun sayang, kekayaan bangsa Indonesia yang luar biasa tidak dikelola secara bijak dan berkeadilan. Di sisi lain, Indonesia juga masih mengalami persoalan mendasar, yakni merosotnya nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme dan semangat pluralitas sebagai bangsa yang multikultural. Masih saja ada upaya pengingkaran terhadap pluralitas bangsa Indonesia yang setiap saat dapat saja muncul ke permukaan. Munculnya kembali “gerakan” atau semangat dan paham komunisme di Indonesia akhir-akhir ini adalah buktinya. Sekalipun Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dibubarkan dan dilarang keberadaannya, namun di era reformasi ini justru memberi peluang munculnya multiideologi. Kendati secara organisasi PKI sudah tidak ada, namun secara ideologi tidak pernah hilang.

Beberapa bukti yang mendukung argumentasi ini bahwa ideologi komunis di Indonesia tidak pernah hilang, contohnya beberapa waktu lalu sempat terpampang simbol PKI (palu arit) di Istana Bogor dan peserta pawai 17 Agustus 2015 di Madura serta adanya berbagai gerakan elemen komunisme bawah tanah melalui kelompok-kelompok diskusi yang dapat ditelusuri mulai 1978, 1982, 1994, dan hingga saat ini di sejumlah kota. Pemerintah harus menyadari adanya kekuatan-kekuatan komunis ini. Untuk itu, mendesak bagi pemerintah agar bertindak tegas dengan menggunakan payung hukum yang ada. Yaitu melarang dan membubarkan semua organasasi masyarakat (ormas) yang anti terhadap ideologi bangsa, Pancasila, apa dan siapapun itu! Paham apapun itu!

Terkait dengan upaya rekonsiliasi nasional, persoalan rehabilitasi dan konsolidasi tersebut perlu didukung dengan satu syarat, yakni kompensasi yang dituntut keluarga eks PKI dan keturunannya tersebut tidak harus dipenuhi. Kita bisa belajar dari kearifan para Kyai-kyai pesantren NU yang merawat dan menyantuni janda-janda dan anak-anak keturunan PKI. Para kyai itu menghidupi, mendidiknya dengan cara disekolahkan di pensatrennya masing-masing sampai besar.

Dus, Pemerintah dan rakyat Indonesia selaiknya berpegang teguh pada Pancasila dan tidak mengakui adanya faham-faham lainnya di luar Pancasila. Di lingkungan global, ideologi komunisme ini memang tidak laku. Namun kalau kita amati, ideologi ini ternyata tidak mati. Sesungguhnya, ideologi komunis tidak akan berkembang jika suatu negara makmur, sistem pemerintahan yang transparan, dan mengedepankan penegakan hukum. Di Indonesia, sebelum dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintahan Soeharto, PKI pernah melakukan dua kali pemberontakan, yakni pada tahun 1948 yang dipimpin oleh Muso dan pada tahun 1965 oleh DN Aidit.

Sebagai bangsa yang multi etnis, ras, suku, budaya, bahasa dan agama, secara jujur kita masih belum bisa menghilangkan atau paling tidak meminimalkan apa yang disebut dengan barrier of psikology (batas psikologis/prasangka) terhadap sesama anak bangsa. Itulah yang kerap memunculkan konflik bernuansa SARA (istilah Orba) di negeri ini baik secara vertikal maupun horizontal.

Sebagai sebuah bangsa besar yang majemuk dan telah berdiri selama 70 tahun, kita seperti kehilangan nalar publik untuk hidup bersama atas dasar semangat kesatuan dan persatuan nasional. Bangsa ini seperti telah mengingkari semangat cita-cita bersama didirikannya “Indonesia Merdeka.” Semua persoalan yang terjadi sesungguhnya sinyal lemahnya “ketahan dan kedaulatan bangsa.” Selain itu pula, banyak variabel yang memengaruhi lemahnya ketahanan dan kedaulatan bangsa. Variabel tersebut salah satunya adalah “marjinalisasi” di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya.

Dari sisi kebudayaan, meluruhnya kebudayaan nasional kita yang secara perlahan tapi pasti tergerus oleh penetrasi budaya asing. Ini terjadi akibat kita tidak lagi berpijak pada budaya dan jati diri bangsa atau bahkan  lebih parahnya kita sengaja meninggalkannya sendiri! (Zonder Ideologi). Belum lagi marjinalisasi di bidang politik, hukum dan ekonomi yang secara kausalitas mengakibatkan keotik di bidang sosial. Apa buktinya? Beramai-ramai masyarakat menghimpun diri dalam suatu paguyuban atau kelompok-kelompok kedaerahan atau bahkan keagamaan. Hal ini diyakini bersumber dari ketidak-adilan sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum.

Di dalam ketiadaan keadilan, keamanan dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan dirinya, orang lebih nyaman berlindung di balik  warga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme dan sektarianisme) ketimbang warga-negara. Persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumberdaya di rumah tangga kebangsaan. Jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri, maka individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus sebagai upaya menemukan rasa aman. Di sini persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitias yang subjektif.

Inilah problem Indonesia sesungguhnya, tak lain adalah keberlangsungan manajemen negara pasca-kolonial yang tak mampu menegakkan kedaulatan hukum, memberikan keamanan dan keadilan bagi warganya. Atas beberapa alasan di atas itulah, pentingnya upaya mendialogkan kembali diskursus tentang paham nasionalisme, Pancasila, kebangsaan, dan keindonesiaan sebagai jalan tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Sudah selayaknya bangsa yang besar ini melakukan refleksi nasional sebagai wujud syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa (YME), dan sebagai langkah koreksi untuk melangkah “ke depan gerbang kemerdekaan sejati.” Dengan menguatkan nilai-nilai kerakyatan secara luas agar partisipasi dan kemanusiaan dapat dirayakan dengan sedikit harapan. Agar semangat keindonesiaan kita tetap terjaga. Agar tidak paria di negara merdeka tetapi juga tidak phobia terhadap negara dan kapitalisme. Ayo, inilah saatnya![]

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Abdullah Taruna

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X