Ichsan merupakan terpidana kasus pembangunan Dermaga Labuhan Haji di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat tahun 2007-2008. Namun hingga saat ini lchsan belum dieksekusi. Sementara, kasus Edy Nasution berkaitan dengan pengajuan peninjauan kembali perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang melibatkan dua perusahaan besar yang masih dirahasiakan KPK. Dari keterangan keduanya dan pendalaman kasus, KPK menduga Nurhadi terlibat dalam kasus ini.
Bayangkan saja, Nurhadi memiliki kekayaan Rp 33.417.646.000. Menurut pengumuman harta kekayaan penyelenggara negara yang dilihat di laman resmi Komisi Pemberantasan Korupsi, Acch.kpk.go.id, Nurhadi melaporkan kekayaannya itu kepada KPK pada 7 November 2012. Sumber kekayaan Nurhadi yang paling besar adalah dari harta bergerak, yaitu Rp 11,2 miliar. Batu mulia yang dia peroleh sejak 1998 memiliki nilai jual hingga Rp 8,6 miliar. Sisanya, barang seni antik hingga logam mulia.
Nurhadi memiliki aset tanah dan bangunan Rp 7,3 miliar. Dia memiliki 2 aset tanah dan bangunan di Jakarta Selatan, 4 aset di Malang, 5 aset di Kudus, 2 aset di Mojokerto, 2 aset di Kediri, dan 1 aset di Tulungagung. Nurhadi melaporkan empat mobil miliknya, yaitu Jaguar, Lexus, Mini Cooper, dan Toyota Camry. Mobil paling mahal dari empat itu adalah Lexus seharga Rp Rp 1,9 miliar. Aset giro setara kas yang dimiliki Nurhadi juga memiliki nilai besar, yaitu Rp 10.775.000.000. (https://m.tempo.co, 16/04/16)
Dalam kasus ini, negara hanya menjadi wilayah perebutan kekuasaan (uang)! Pertanyaannya apa sesungguhnya yang melatarbelakangi itu semua? Mengapa ini bisa terjadi? Apa sebab? Jika aturan mainnya sudah jelas, mengapa tindak suap/korupsi atas nama kekuasaan terus terjadi? Jawabannya cuma satu: bangsa ini adalah keberlanjutan manajemen negara pasca kolonial! Dimana, para pemimpin negeri ini masih mewarisi watak atau bermental kolonial yang suka menajajah bangsanya sendiri. Problem lanjutan dari bangsa post-kolonial adalah dijangkitinya para pememimpin bangsa ini oleh dua virus ganas sekaligus yaitu; virus mitos state dan materialism state. Struktur serta tatanan kenegaraan dibuat sedemikian rupa sehingga menciptakan tatanan kekuasan yang absolut, korup sekaligus menindas! Menindas apa saja yang mengganggu kelanggengan kekuasaan yang lalim tanpa kecuali.
Selama perilaku moral hazard pejabat negara terus terjadi serta kurang memperhatikan etika dalam berpolitik terutama lembaga yudikatif, yang sekarang mendapat sorotan banyak publik akibat sikap dan laku politiknya yang kurang etis dan kurang mampu mengejawantahkan kemauan dan aspirasi politik rakyat kecil, maka pembangunan manusia Indonesia akan menjadi mimpi di siang bolong. Hal ini juga sesungguhnya telah memunculkan gangguan atau hambatan terhadap kebijakan (policy) dan program-program pembangunan pemerintah dalam jangka panjang. Sehingga diharapkan pada ujung-ujungnya bermuara pada kesejahteraan rakyat serta keadilan bagi seluruh rakyatk Indonesia. Pun, keadilan yang merepresentasikan kedaulatan rakyat. Oleh karenanya, dibutuhkan pejabat negara yang bermoral (integritas) tinggi dan benar-benar mampu mengejawantahkan rasa keadilan publik.
Dus, segala persoalan dan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara seperti hukum, ekonomi, sosial, hankam, politik, budaya bahkan agama harus dijawab dengan kinerja baik semua pihak terutama Pemerintah dan DPR serta lembaga yudikatif sebagai upaya mencapai good and clean government. Tak pelak pula upaya reformasi birokrasi perlu terus digalakkan! Hal ini terkait kinerja birokrasi atau birokrat di negeri ini yang kurang memahami peran, fungsi dan tugas utamanya seperti; Pertama, budaya menguasai (power culture) masih dominan dalam birokrasi kita. Sejatinya peran birokrasi adalah melayani. Kedua, inkompetensi. Pegawai-pegawai yang bekerja di birokrasi tidak kompeten menyelenggarakan pemerintahan karena direkrut dengan cara asal-asalan. Ketiga, perilaku moral hazard atau kerusakan moral. Perilaku ini umumnya terkait dengan praktik suap, karena gaji yang mereka terima (konon) kecil. Keempat, kooptasi politik terhadap birokrasi.
Atas persoalan di atas, sungguh, ini sangat tidak menguntungkan bagi kualitas demokrasi Indonesia di masa mendatang dan nasib rakyat kecil serta ancaman goyahnya NKRI![]