Parade Kebhinekaan .... Begitulah rekayasa dan tajuk kegiatannya. Inilah sejumlah warga negara yang merasa amat/paling peduli kepada NKRI berikut segala narasi keberagamannya. Kenapa? Suka atau tidak, langsung atau tidak, ide dan kegiatan konyol itu dipicu oleh Aksi Damai I & II ummat Islam yang amat mengesankan dan menggetarkan.
Sebuah aksi yang sesungguhnya terlalu mewah, hanya untuk menghadapi Ahok yang menistakan ulama dan Al-Quran. Ya ..., terlampau mewah. Sesungguhnya tidak perlu demo damai seperti itu, jika saja pemerintah peka, tanggap, dan tidak berstandar ganda. Itulah kemudian yang memantik munculnya tuntutan kepada "Ahok +" (baca: pelindungnya).
Kenapa sebegitu masif, kuat, dan hebatnya penolakan terhadap Ahok? Itulah wujud luapan dari akumulasi kemuakan terhadap Ahok. Timbunan kesabaran dan toleransi yang menembus batas-batasnya karena terus diinjak-injak dan dilecehkan oleh Ahok.
Ibarat luka, masyarakat sudah sekian lama menahan pedih dan perih. Selama itu mereka bisa menahan diri, hanya berani merintih lirih. Tapi, dari hari ke hari selalu dan senantiasa, Ahok menyirami terus dengan air garam di atas luka, melalui kesombongan, kebrutalan, dan kekasaran kata juga sikapnya.
Hebatnya, sebagian warga dan pemerintah bisa diperdaya Ahok dengan tim yang menghalalkan segala cara. Ketika dikritik, Ahok mengelak, yang tanpa disadari elakannya mencerminkan apa yang ada dalam alam bawah sadarnya. Agaknya, Ahok atau Ahoker menderita syndrome minority complex yang akut. Mengelak dari kritikan, Ahok dengan sengaja/tidak, mengarahkan serangan agar mengenai sindrom minoritasnya, yakni, Cina ras/sukunya dan Kristen, agamanya.
Terbangunlah sebuah kesan dan taste - karena memang digarang dan digoreng sedemikian rupa - menyerang Ahok sama dengan menyerang suku dan agama tertentu. Mengkritik Ahok, dianggap tidak memuliakan minoritas atau keberagaman. Ahok, ditokohkan dengan berbagai mantera sesat sebagai simbol kebhinekaan dan seterusnya. Lalu, dibangunlah nalar sesat, yang menghasikan kesimpulan yang pasti sesat pula.
Ulama atau kaum muslimin bersama sebagian besar warga lain distigmatisasi sebagai anasionalis. Tidak cinta damai. Memainkan SARA, anti Cina dan Kristen, bla bla bla .... Padahal, muslim sekalipun atau siapapun dia, apa pun SARA-nya, bila berkelakuan seperti Ahok, dapat dipastikan begitulah cara terakhir menghadapinya jika jalur-jalur standard dirasa kabur apalagi sengaja disumbat.
Ironisnya, hal yang sama dicekokkan juga, bahwa negeri ini sedang berhadapan dengan Islam atau kelompok garis keras, kulakan teroris, dan lain-lain. Jika tidak waspada akan membawa bangsa ini ke tubir jurang perpecahan dan mengancam centre of gravity NKRI, yakni Bhineka Tunggal Ika. Lebih ironis lagi, jika sementara kalangan, orang Islam sendiri dan pemerintah, kemudian tidak kalah paranoidnya, ikut menari atas kendang "mereka", lalu mengamini kampanye yang demikian. Sanggup bersikap sinis terhadap Aksi Damai I & II, lalu tampil bak pahlawan dalam parade karbitan yang konyol itu.
Sampai di sini, pemerintah masih saja gagal paham. Muncul ide Parade Kebhinekaan dan pemerintah seperti merasa mendapat obat mujarab. Padahal, bagaimana mau mujarab jika antara diagnosa sakitnya apa, dosisnya seberapa, dan formula obatnya bagaimana, masing-masing saling-silang dan sengkarut tidak nyambung dan tidak pula nyekrup atau terpaut.
Walhasil, Parade Kebhinekaan hanya terbaca sebagai kesia-siaan. Stigma terhadap Aksi Damai yang dipaksakan sebagai mengancam NKRI tidak bergaung di sebagian terbesar warga. Parade karbitan itu hanya terbaca sebagai upaya gagal, maunya show of force utntuk memberi tekanan. Hanya ditafsiri sebagai upaya gagal dalam menggelar tandingan, yang justru hanya menyisakan kesan, "adu domba" sesama komponen bangsa. Bahkan kemudian ..., hanya bisa dimengerti, sebagai inkarnasi gaya lama sang diktator atau penguasa dalam menekan kelompok kritis yang dirasa mengancam kemapanan kedudukannya.
Perhatikanlah ....
Semua pejabat negara yang terkait, masih terus gagal paham ..., seraya tetap asyik mengumpulkan sisa-sisa bambu yang masih ada, lalu ramai-ramai membelahnya ....
Tapi, syukur dan berbanggalah ..., kita masih memiliki TNI yang tetap firm sebagai peyanggah terdepan dan benteng terakhir NKRI, berikut pernik-pernik SARA dan kebhinnekaannya. Melalui Panglima TNI, kita boleh merasa sejuk dan teduh, karena masih berpikir, bersikap, dan bertindak secara jernih, obyektif, dan profesional.