Genap 18 tahun sudah Reformasi Mei 98 bergulir dan berlalu. Sebuah peristiwa penting pada aras dan sejarah perjalanan republik ini, yang menandakan perubahan mental dan sistem ketatanegaraan negeri ini dari totaliter-otoritarianisme dan korup ke sistem yang lebih demokratis, transparan, dan humanis (reformis). Sebagaimana kita tahu, (maaf) gerakan (politik) 98 bukan saja momentum peralihan kekuasaan politik, juga momen bersejarah bagi gerakan pemuda di tanah air. Sebab, setelah sekian lama mati suri, gerakan mahasiswa dan elemen pemuda lainnya mulai terpantik kembali dengan ditandai krisis moneter 1997 di belahan negara-negara ASIA, khususnya di Indonesia.
Peristiwa ini juga ditandai dengan jatuhnya beberapa korban mahasiswa, pemuda, dan orang-orang tak berdosa lainnya akibat terjangan tajamnya peluru aparat, juga kerusuhan massal di beberapa kota besar, tak terkecuali Ibu Kota.
Ironis, peristiwa yang amat memilukan bagi nageri ini nyatanya belum juga menghasilkan perubahan signifikan terhadap Reformasi Birokrasi yang muaranya pada kesejahteraan rakyat sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Perilaku para birokrat tetap saja belum berubah. Mental mereka masih tetap saja sama, yakni minta dilayani bukan melayani, alias KORUP! Survey yang dilakukan Bank Dunia menyebutkan bahwa sebagian besar pejabat publik baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif hasil Pemilu 2004 dan 2009 (belum termasuk hasil Pemilu 2014) di beberapa kabupaten di Indonesia itu tidak memahami persis apa tugas dan tanggung jawab mereka sebagai pejabat/birokrat atau pelayan publik.
Padahal, jalan untuk mewujudkan era reformasi sekarang ini tidak mudah. Banyak liku dan aral melintang dari terjalnya jalan menuju era keterbukaan dan “kemerdekaan” yang diimpikan dan dicita-citakan. Tumpahnya darah tunas-tunas muda bangsa yang gugur di era gerakan Mei 98, gerakan menumbangkan rezim Soeharto dan kroninya (ORBA) yang sarat Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) adalah salah satunya.
Mereka yang muda, heroik, idealis sekaligus polos, rela berkorban jiwa dan raga, gugur dalam medan “juang”. Mereka tidak tahu setelah era perjuangan itu akan dapat apa dan mau jadi apa? Hanya satu yang mereka tahu, rezim otoritarianisme yang korup tumbang dan berganti dengan era yang kita semua nikmati hari ini.
Taufik Abdullah pernah menyatakan, betapa peristiwa-peristiwa besar di negeri ini dilalui dan digerakkan oleh pemuda. Sejarah telah membuktikan pula bahwa pemuda merupakan penggerak utama “denyut nadi revolusi” suatu bangsa di mana pun, tak terkecuali Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 (konon, sebagai gerakan kebangkitan nasional pertama), merupakan rekayasa sosial-politik para pemuda Indonesia dalam menggerakkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia melawan penjajah kolonial. Tonggak penting itu memunculkan kesadaran moral kebangsaan dua puluh tahun kemudian dengan melahirkan peristiwa monumental bagi persatuan dan kesatuan sebuah bangsa besar. Pada 28 Oktober 1928 sekelompok pemuda dari berbagai suku dan daerah berikrar dan menegaskan kesatuan niat, kebulatan tekad dan semangat satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Inti dari sumpah itu adalah membangun rasa persaudaraan sebangsa setanah air. Ikrar suci dan semangat nasionalisme itu kemudian mengkristal dan menjemal menjadi gerakkan politik kemerdekaan tujuh belas tahun kemudian, yang menemukan momentumnya saat diproklamirkannya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarano dan Hatta (yang tak lain adalah orang-orang muda).
Kita tentu patut bersyukur, hasil dari perjuangan gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat telah membawa kita pada alam demokrasi. Dimana semua tata kenegaraan Indonesia berjalan sesuai kaidah-kaidah yang seharusnya. Dari 6 (enam) tuntutan atau agenda reformasi (Adili Soeharto dan kroni-kroninya, laksanakan amandemen UUD 1945, hapuskan dwi fungsi ABRI, pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya, penegakan supremasi hukum, menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN) semua telah dijalankan.
Namun sayang, keenam agenda reformasi itu masih setengah hati kita jalankan. Mengapa dan apa buktinya? Penulis berpendapat (pribadi) bahwa:
1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya. Belum atau tidak terwujud sama sekali. Apa buktinya? Kasus KKN mantan presiden RI kedua itu belum ada putusan (inkracht) di pengadilan. Apakah ia bersalah atau tidak? Lalu sebagian kroni-kroni Soeharto kini masih banyak yang berkeliaran bahkan berkibar dengan partainya masing-masing sekaligus bisnisnya yang masih dan terus menggurita.
2. Pelaksaaan amandemen UUD 1945. Setelah empat kali mengalami amandemen, nyatanya UUD 1945 (versi) reformasi malah mengarah dan berkiblat kepada kepentingan asing, sejurus kemudian memunggungi kepentingan rakyat sendiri. Apa buktinya? Buktikan dan rasakan sendiri.
3. Penghapusan dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI. Juga masih samar hasilnya. Apa buktinya? Sederet nama-nama Jenderal Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia/TNI era orde baru alias ORBA justeru makin berkibar dengan partai dan bisnisnya. Di sisi lain, terjadi “persaingan” institusi Polri dan TNI yang negatif dan subyektif.
4. Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Pada tataran teknis memang terwujud apa yang diinginkan tentang desentralisasi dan mengamputasi kekuasan yang terpusat (sentralisasi). Namun, pada praksisnya, malah hanya menciptakan raja-raja kecil baru yang tak kalah ganasnya terhadap uang! Apa buktinya? Puluhan bahkan ratusan kepala daerah ramai-ramai masuk jeruji besi akibat KKN. Bahkan Ketua DPD RI tak luput pula.
5. Penegakkan supremasi hukum. Tuntutan kelima reformasi ini sungguh memilukan dan menjijikan! Apa pasal? Pasalnya, tata hukum/peradilan kita betul-betul telah tercoreng bahkan dapat menggoyahkan sistem peradilan dan keadilan Indonesia. Bagaimana tidak, Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng tertinggi dan terakhir dari sistem hukum dan tata peradilan kita, juga tidak luput dan terjerat kasus KKN!