Secara sosiologis, keempatnya tidak berdiri sendiri, apalagi bebas nilai. Keempatnya justru saling berkelit dan berkelindan, saling mempengaruhi dan menguatkan, atau sebaliknya saling memperkeruh keadaan.
Memperkeruh keadaan ini yang belakangan berseliweran, karena pikiran, ucapan, dan tindakan yang ceroboh dan bodoh. Ceroboh, karena sering melampaui kompetensi, sok tahu dan bermain api. Bodoh, karena keliru membangun logika. Katanya, kebhinekaan atau Pancasila baru dinilai benar, jika saya menjadi pejabat, menjadi ini, atau itu, dan lain-lain.
Dari pendekatan konflik dan konsensus, unsur agama menjadi juaranya. Niels Mulder/1975, mengemukakan sebuah dalil, agama adalah faktor perekat/pemersatu yang amat kukuh dan kokoh, tapi juga alat pemecah-belah yang amat efektif sekaligus memilukan.
Singkatnya, satu persoalan "SARA" dapat menimbulkan dampak yang merambah ke mana-mana, yang tidak lagi tunggal. Sebaliknya, satu dampak yang ditimbulkan bisa bersumber dari empat unsur primordial secara bersama-sama.
Kasus terakhir, kiranya dapat menjadi contoh sekaligus pelajaran. Pelecehan terkait Surat Hidangan (Al-Maidah), adalah akar masalah, murni faktor agama. Tapi, dampaknya ke mana-mana. Bahkan menjadi kehilangan alamat (fokus), begitu disengaja atau tidak, diseret-seret dan bersinggungan dengan wilayah politik. Akibatnya, centang-prenang, merembes ke wilayah suku, ras, dan golongan ...
Pepatah mengatakan, jika kusut di ujung kembalilah ke pangkal. Tidak perlu ujungnya makin diperkusut. Bertengkar sendiri, suudzon sana-sini, ngotot membela diri, ngeyel dan njelehi, merasa benar sendiri, dan lain-lain.
Duhai ... "SARA" tersayang ...
Bila demikian sungguh amat rugi dan amat disayangkan. Teramat mahal tebusannya. Akibatnya, tidak saling menyadari jika pangkal soalnya makin bergeser meningalkan pakridan/gelanggang ...
Kini tiba saatnya, untuk kembali mempersegar kesadaran diri dan kewaspadaan nasional. Selalu sadari jika, asu gedhe mesti menang kerahe ... sehingga bisa lebih bersabar dan tepat dalam mengambil langkah. Tidak perlu dengan gagah perkasa memasuki arena adu-domba. Tidak perlu saling nggedabrus lupa diri hanya karena rebutan balung, yang dagingnya ternyata sudah dicincang ...
Jakarta, 17 Oktober 2016