Kebijakan penutupan Petral Energy Service Pte. Ltd. Singapore (Petral) pada akhir tahun 2014 yang ditengarai sebagai sarang mafia migas telah digantikan fungsinya 100% oleh ISC Pertamina. Setelahnya, impor minyak oleh Pertamina seolah selalu mengalami goncangan.
Setelah itu, Direksi Pertamina, sejak awal 2015 hingga awal September 2016 terlihat rajin “mengumumkan” telah melakukan penghematan, setelah memotong banyak mata rantai suplai pembelian minyaknya. Jika dijumlahkan, semuanya bisa mencapai miliaran dolar Amerika. Fantastis, dan publik terkagum-kagum atas prestasi dan kinerja Direksi Pertamina.
Kemudian muncul berita mengejutkan, 2 kapal tangker yang membawa minyak mentah sejumlah 1,2 juta barel dari Libya sekitar tanggal 18 - 20 September, dan Pertamina ISC telah menolak kargo tersebut di terminal Dumai dan Balikpapan. Ironis.
Glencore mengirim suplai minyak mentah kepada PT Pertamina (Persero) dengan komposisi melenceng jauh dari spesifikasi seperti tertuang dalam kontrak. Diketahui, minyak mentah tersebut rencananya akan dipasok sebanyak 4 kargo untuk kebutuhan kilang Pertamina. Minyak mentah “aseng” sebanyak 600 ribu barel untuk kilang Balongan, 600 ribu barel “Bonny Light” untuk kilang Balikpapan. Dan, 2 kargo lagi sejumlah 1.2 juta barel minyak berasal dari Libya.
Tapi, ternyata minyak yang didatangkan adalah minyak oplosan Sarir dengan Mesla sebanyak 1.2 juta barel dengan komposisi terbalik yang perbandingan seharusnya 70% Sarir dan 30% Mesla. Anehnya, ISC Pertamina baru menolak saat kedua kapal tanker MT Takiki dan MT Stavenger Blossom yang membawa minyak tersebut sudah merapat di pelabuhan di Dumai dan Balikpapan sekitar tanggal 19 September 2016 lalu.
Sebenarnya bukan hal sulit untuk dicerna, bahwa jika merujuk pada notifikasi Bill of Lading yang lebih awal diterima oleh ISC, seharusnya sebelum kapal bergerak dari terminal minyak di Libya, sudah bisa diperintahkan oleh ISC untuk dibatalkan dan tidak merugikan ISC Pertamina, dengan harus cepat mencari minyak mentah pengganti di pasar bebas, dan bisa terjadi lebih mahal sekitar USD 1 per barel. Maka, potensinya bisa menjadi sekitar USD 1,2 juta.
Dengan komposisi terbalik antara minyak Sarir dengan minyak Mesla, maka ada potensi selisih harga sekitar USD 10 per barel, sehingga jika minyak oplosan itu diterima oleh Pertamina, maka ada potensi kerugian sebesar USD 12 juta.
Aksi penolakan ISC Pertamina itulah yang memancing kritik banyak pihak. Jika dikatakan pada awal proses pemilihan minyak oplosan Sarir dengan Mesla ini berdasarkan kajian Direktorat Pengolahan dengan menggunakan perangkat lunak linier program GRTMPS, diduga mengandung keanehan dan bertentangan dengan prinsip yang sudah baku dilakukan oleh ISC dengan cara Crude Oil Management System/COMS, yang melarang impor minyak mentah yang dicampur di kapal dan akan mengandung risiko aspek kualitas dan kuantitasnya. Karena percampuran minyak mentah dari berbagai sumber adalah merupakan tugas dan tanggung jawab kilang Pertamina yang dikenal dengan produk "coktail Crude", dan digunakan komposisinya sebagai bahan baku kilang sesuai dengan program produk BBM yang akan diproduksi dan dengan mempertimbangkan kehandalan kilang Pertamina.
Sesungguhnya minyak Sarir ini sudah sangat lama tidak digunakan oleh kilang Pertamina. Awalnya dimulai pada akhir September 2006, sesuai surat Pertamina Nomor 2252/E20200/ 2006-SO tanggal 31 Agustus 2006 atas rekomendasi kilang dan temuan audit BPK RI. Bahwa mengolah minyak Sarir di kilang telah menghasilkan residu yang amat besar, sehingga untuk mengolah residu menjadi "Low Sulfur Waxy Residu" / LSWR dibutuhkan ADO (Automotive Diesel Oil) yang lebih banyak dan harganya sangat tinggi. Dengan kata lain, minyak sarir dinilai tidak ekonomis. Akan tetapi, tidak berselang lama Dirut Pertamina, yang saat itu adalah Arie Soemarno, pada 18 Oktober 2006 mengeluarkan surat Nomor: 124/ COOOOO/2006-SO yang tidak sejalan dengan kondisi tersebut di atas.
Dalam surat tersebut, Pertamina malah menyatakan berminat tetap membeli minyak mentah Sarir dari NOC Libya melalui Pertamina EP Libya (PEPL) sejumlah 900.000 barel. Selanjutnya, tanpa alasan yang jelas untuk memenuhi kontrak term 2007 dengan Pertamina, pengadaan minyak mentah Sarir berikutnya dilakukan melalui Petral yang diduga pelaksanaan tendernya “ecek-ecek”, yang semuanya diborong oleh perusahaan Concord Energy Pte. Ltd..
Temuan audit BPK mengatakan, akibat pembelian secara langsung saat itu pada NOC Libya telah mengurangi pendapatan Pertamina tahun 2007 sejumlah USD 1.458.862 dengan bahasa halusnya "kerugian Negara". Sayangnya, proses pembelian minyak Sarir terus berlanjut sampai dengan tahun 2008, dan semua proses tendernya diborong juga oleh Concord Energy secara terus menerus, termasuk memborong semua pembelian minyak mentah "Champion" dari Brunei Shell Petroleum.
Padahal menurut "nota rahasia" Kepala Divisi Perencanaan dan Ekonomi Kilang kepada Direktur Pengolahan Pertamina pada tanggal 19 Oktober 2006, telah terjadi perbedaan kesimpulan dengan nota Kepala Dinas Perencanaan dan Pengadaan Direktorat Pengolahan. Anehnya, di akhir pemeriksaan pada 24 Desember 2008, Tim BPK RI meminta bukti surat tersebut, dan telah dijawab bahwa semua data tidak dapat diberikan oleh pihak Pertamina dengan alasan bahwa dokumentasi yang ada dalam komputer terkena “virus”. Dahsyat sekali alasannya.
ISC kemudian terbentuk pada 27 September 2008 oleh Dirut Pertamina Arie Soemarno dan untuk jabatan Senior Vice President dijabat Sudirman Said dan Vice President Daniel Purba. Setelah proses audit BPK RI bisa diatasi dan struktur ISC Pertamina sudah berjalan, maka perburuan minyak Sarir dimulai lagi dengan munculnya surat Managing Director Petral oleh Jhon Soemarmo dengan Nomor P/P-025/12/08 tanggal 17 Desember 2008 yang ditujukan kepada Sudirman Said untuk memberitahukan bahwa Petral sudah mendapat kapal dengan jadwal tanggal 6-10 Januari 2009 untuk mengangkut minyak Sarir sebanyak 1.000.000 barel tujuan kilang Balikpapan dan aktifitas itu berlangsung sampai dengan Febuari 2009. Perburuan minyak Sarir ini sempat terhenti sejenak tatkala posisi Direktur Utama Pertamina diambil alih oleh Karen Agustiawan dari Arie Soemarno pada tanggal 5 Febuari 2009.