Berkumpul dan Selfienya Tiga Mantan Sekjen PBNU

photo author
- Selasa, 21 Maret 2017 | 04:03 WIB
images_berita_Mar17_AGUS-Slefie
images_berita_Mar17_AGUS-Slefie

 

Petang itu (Kamis, 16/3) lalu-lalang para pelayat mendiang Kyai Hasyim masih saja rame. Tentunya rame dalam artian keluar masuknya para kerabat dan kolega almarhum yang secara status sosial begitu beragam. Kalau meminjam istilahnya Bang H. Rhoma --sang raja dangdut --di salah satu bait lagunya "dari tukang koran sampai dengan Presiden"--struktur sebutan lain untuk menyebut keragaman status sosial.

Ya. Karena memang tidak hanya para santri yang menumpahkan tangis kehilangan, para kyai pun demikian. Tidak hanya para aktivis yang berdatangan, para jurnalis pun terlihat sibuk mengenang. Dan, tidak hanya para pejabat, para tetua dan tokoh masyarakat pun datang melawat.

Saya sendiri tidak bisa menyebut nama satu per satu dari kebanyakan para pelayat dan atau tokoh yang datang. Karena memang bisa jadi tidak semua kenal, hanya merujuk pada beberapa perfom-personal saja. Tampang rapi klimis beratribut misalnya, dikawal ajudan umpamanya, atau mobil antaran bernopol khusus bisa juga jadi penanda. Tapi, bagi saya, menyebut kebajikan semua dari kebanyakan orang itu lebih penting ketimbang menyebut nama dari kebajikan banyak orang.

Ulama sebagai Pelita

Adalah lumrah, kenapa wafatnya KH. Hasyim Muzadi menyita waktu banyak orang untuk datang, seolah menggiring semua lapisan masyarakat untuk bertemu di satu titik, berkubang kabung sebagai wujud belasungkawa. Tidak lain karena almarhum adalah ulama besar, tokoh lintas strata dan agama. Untuk tidak menyebut kegelapan, wafatnya ulama adalah redupnya sinaran kehidupan dunia. Karena diam dan bergeraknya seorang ulama atau dalam bahasa agama "qiyaman wa ala junubihim" adalah cerahan ilmu yang menyemburat menerangi kehidupan manusia. Sederhananya, wafatnya ulama adalah tercerabutnya ilmu dari khasanahnya dan redupnya pelita di benderangnya suasana.

Hal mana telah disampaikan kanjeng Nabi bahwa : "Allah tidak mengambil ilmu dengan menariknya dari bumi, akan tetapi Allah mengambil ilmu-Nya dengan mewafatkan para ulamanya. Sehingga ketika Allah SWT tidak menyisakan orang-orang 'alim di situ, para manusia menjadikan orang-orang bodoh (bukan ahli ilmu) sebagai tempat bertanya, maka ia berfaqwa tanpa ilmu, lalu sesatlah dan menyesatkan" (HR.  Bukhori). Dalam riwayat lain juga disampaikan "Keutamaan orang berilmu dibanding orang yang beribadah itu seperti keutamaan bulan malam purnama di atas bintang-bintang. Dan, ulama ialah ahli para waris Nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewarisi dinar dan dirham akan tetapi mewarisi ilmu" (HR Ibnu Majah, Tirmidzi dan Abu Daud).

Berkumpulnya para mantan Sekjen NU

Satu peristiwa menarik di petang itu adalah berkumpul dan bercengkeramanya para mantan Sekretaris Jenderal PBNU, yang tidak hanya beda generasi (baca: kepengurusan), tapi juga beda kelebihanya. Masing-masing dari mereka adalah Drs. H. Muhyidin Arubusman, Dr. H. Endang Turmudi, MA. Keduanya mendampingi KH. A. Hasyim Muzadi di periode yang berbeda dan yang satu Dr. H. Marsudi Syuhud, MM yang mendampingi Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj.

Jika berangkat dari kenyataan bahwa NU adalah tempat pengayaan silaturahmi--karena memang aneka segmen muamalahnya begitu rupa--seperti maulid, taklim, prosesi kelahiran dan kematian, dan lainnya. Maka pertemuan ketiga tokoh NU itu lumrah adanya. Atau kalau merujuk pada kenyataan NU adalah wahana "persenggamaan" intelektual para aktivis baik yang tua maupun muda, santri dan ulama. Maka berjejer dan selfienya para mantan wakil sekjen itu bisa dikatakan wajar saja. Namun demikian mengulas mereka bertiga pada beberapa bagian yang seringkali tak tersentuh oleh "skema data base" NU menjadi penting untuk diwartakan.

Pertama. Pertemuan tiga mantan Sekjen PBNU dengan katagori berurutan secara periodik pada satu waktu di tempat yang sama dan berselfie bersama bisa dikatakan baru kali ini terjadi. Kedua. Personality power  masing-masing yang menurut saya patut dibincangkan untuk generasi mendatang. Muhyuddin Arubusman, misalnya, senior Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini, selain kuat di lintas  jaringan juga terkenal dengan pengkader yang ulung.

Tidak sedikit kader yang karena sentuhan tangan dinginnya berhasil menjadi tokoh nasional. Deretan menteri dari NU dan atau PKB, para kyai dan tokoh masyarakat, pegiat LSM pun tidak luput dari "besutan" pria berpenampilan sederhana ini. Mantan Ketua PB PMII periode 1981-1984 dan Sekjen PBNU periode 1999-2004 lebih mencirikan sebagai tokoh dengan kekuatan jaringan sebagai kelebihan utamanya.

Lain Muhyiddin, lain pula Endang Turmudi. Pria kelahiran kerawang, 28 Oktober 1955 yang belum lama mendapat gelar profesor ini lebih mencirikan konseptornya sebagai basis kekuatan utamanya ketika menjabat Sekjen PBNU mendampingi Hasyim Muzadi di periode II, 2005-2010. Mungkin karena senior PMII lulusan Universitas Nasional Australia --juga alumni Pesntren Cipasung--ini berlatar belakang akademisi dan peneliti (LIPI). Tidak sedikit curahan pikirannya membuahkan karya tulis (buku) yang umumnya menyoal kependidikan seperti Perselingkuhan Kyai dan Pesantren (2004), Islam dan Radikalisme di Indonesia (2005).

Berikutnya, Marsyudi Syuhud. Sosok tinggi besar--untuk tidak menyebut tambun--ini menjadi Sekjen PBNU menggantikan seniornya, Endang Turmudi, tepatnya di kepemimpinan Said Aqil Sirodj pertama, 2005-2010. Pria kelahiran Cilacap, Jawa Tengah ini lebih kental dengan keahliannya berceramah (mubaligh). Maklum selepas lulus Pesanren beliaunya banyak bersinggungan dengan Nur Iskandar, Pengasuh Pesantren Ashshiddiqiyah yang juga penceramah ulung. Latar mula (mubaligh) inilah yang mencirikan kekuatan utama beliaunya ketika menjabat Sekjen PBNU.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X