OTT di sektor swasta, jauh lebih hebat. Salah satunya yang terbaru adalah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 13 tahun 2016 tentang tata cara penanganan kejahatan korporasi. Perma ini menitik beratkan asset recovery dari quasy criminal proverty law, mampu menjadikan perusahaan sebagai tersangka. Jika Densus Tipikor itu jalannya lurus, sektor ini justru baik untuk digarap karena belum digarap. Baru satu perusahaan yang dijadikan KPK sebagai tersangka, yaitu perusahaan milik Sandi yang diduga bermotif politik pilkada.
Dengan Perma ini, Densus bisa menjerat korporasi, sejak dari inangnya hingga sisternya. Sebelumnya, korporasi tak bisa didakwa, padahal separuh uang milik WNI disembunyikan di luar negeri, menurut BI.
Dengan itu, Menkeu Sri Mulyani bergigi dalam menjerat kejahatan korupsi transnasional dan mafioso dalam rangka Open Information Exchange G20 dan OECD. Kejahatan-kejahatan ekonomi lintas negara itu bisa ditangani Densus karena Polri memiliki Interpol.
Sudah masanya para Taipan disadap. Kasus BLBI malah belum digarap. Yang digarap BPPN hanya Rp 12,6 triliun. Yang Rp 167 triliun, malah sama sekali belum dijamah. BLBI bank plat merah yang Rp 370 triliun, belum pernah disentuh. Jika kena Densus, pasti tuntas.
Hanya saja, benarkah Densus Tipikor itu mampu berjalan lurus? Berani kepada Taipan? Kalau tak lurus, berakhir dengan hengki pengki, 86, etcetera. Lebih gawat.
KPK jelas useless. Maksud saya hak supervisi yang disandangnya, amanat UU No 31 tahun 1999 tentang Tipikor. Sebab, UU KPK tidak membreakdown hak supervisi. Mau pake apa atur Densus?
Pagi-pagi, Jaksa Agung sudah menolak menjadi bagian dari Densus Tipikor. Hanya KPK dengan basa-basi mendukung Densus Tipikor. Yaitu, takut dikerjai Polri.
Demikian disampaikan oleh Djoko Edhi Abdurrahman (mantan Anggota Komisi Hukum DPR, Wasek LPBH, PBNU) pada Jumat (20/10 /2017).