Klikanggaran.com (18/11/2017) - Serial “telenovanto” yang bikin geger akal sehat itu telah digelar di depan bola mata kita. Apakah kita akan berdiam diri dan mati beku menggenggam kebencian terhadap merosotnya keadaan negara tanpa tindakan nyata? Apakah seluruh mahasiswa dan pemuda telah menjual jiwanya kepada rezim yang hina ini?
Seorang budak belian, walaupun fisik dan pikirannya diperbudak, namun tak menjual jiwanya kepada majikan. Di dalam lubuk hatinya yang terdalam, mereka menolak diperbudak. Seorang pelacur yang menjual tubuhnya, tak sedikit di antara mereka yang menolak menjual hati dan jiwanya.
Berbeda dengan kita, yang terlihat merdeka secara fisik dan pikiran, tapi justru menjual jiwa kita untuk diperbudak oleh segelintir “parasit politik”, oligarki "rent sekeers", pemburu rente, yang kaya raya di atas penderitaan rakyat.
Kita sangat prihatin dengan keadaan generasi muda penerus bangsa saat ini. Sebagian di antaranya tak peduli lagi terhadap keadaan sosial dan politik yang memprihatinkan, sibuk dengan dirinya sendiri. Ada banyak di antara mereka yang dirusak moralnya, lalu disandera oleh elite penguasa.
Sebagian yang lainnya telah secara sadar menjual hati, pikiran, dan jiwa mereka untuk diperbudak oleh kerajaan kuasa gelap atau kekuatan kepentingan tertentu. Mereka hanya dikenalkan bahwa politik itu adalah pro atau kontra kekuasaan, menjadi relawan capres.
Mereka itu katanya adalah generasi melenial, sebuah generasi “jadi-jadian”, generasi "dadakan", persis kayak tahu goreng dadakan, yang terbentuk tanpa landasan dan pedoman nilai-nilai dasar perjuangan.
Istana Negara Bertanggung Jawab
Kembali kepada episode “telenovanto”, panggung sandiwara yang telah menghina akal sehat kita. Sangat tepat jika kita mendesak Istana Negara dan KPK untuk mengklarifikasi dugaan keterlibatan sejumlah pihak, baik dalam mem-back up secara politik, maupun merintangi penyidikan melalui dugaan skenario sakit dan sandiwara kecelakaan.
Pihak Istana Negara harus menyampaikan klarifikasi secara terbuka terkait dugaan keterlibatan Jenderal Luhut Pandjaitan dalam mem-back up Setya Novanto agar lepas dari jeratan hukum.
Walapun dalam pernyataannya, Presiden Joko Widodo menyampaikan tak mengintervensi penegakan hokum, namun dalam prakteknya Presiden Joko Widodo terkesan membiarkan Jenderal Luhut Panjaitan, “tangan kanan” dan “orang kepercayaannya”, melakukan akrobat politik, diduga untuk back up Setya Novanto.
Terkesan seperti pembagian peran dalam sebuah panggung sandiwara. Presiden Joko Widodo ditempatkan berperan sebagai “good boy”, mendukung pemberantasan korupsi. Sementara di sisi lain, Jenderal Luhut diberi peran antagonis sebagai “bad boy”.
Sebagai contoh, kehadiran Jenderal Luhut Panjaitan menjenguk Setya Novanto saat tayangan “telenovanto” episode dua, “papa sakit jantung”. Kita menangkap kesan sebagai “kode” back up politik dari Istana Negara terhadap Setya Novanto.
Tercatat hingga dua kali Jenderal Luhut datang ke rumah sakit yang berbeda untuk jenguk Setya Novanto. Pertama, Jenderal Luhut datang ke Rumah Sakit Siloam Jakarta, tempat Setya Novanto dirawat.
“Saya lihat sakit, dan perlu penanganan dari dokter, itu saja yang saya lihat. Nggak ada (pembicaraan), saya kasihan saja lihatnya lemas, gitu saja. Saya nggak banyak ngobrol, dia banyak diam," kata Pak Luhut (www.detik.com 13/9/2017).