Golkar dalam Pusaran Politik 2019, Catatan Buat Tulisan Denny JA

photo author
- Jumat, 24 November 2017 | 03:07 WIB
images_berita_Nov17_Politik
images_berita_Nov17_Politik

Merujuk pada jejak digital pandangan Bambang Soesatyo dan professor Romli Atmasasmita, kekuatan ini cenderung kekuatan asing. Dalam kritiknya pada LSM mitranya KPK, yakni Indonesian Corruption Watch (ICW), Romli memastikan bantuan barat dalam jumlah uang yang cukup besar untuk ICW dalam jangka yang panjang.

Dengan demikian kita melihat bahwa persoalan Novanto dan Golkar ini bukan persoalan sederhana, ini adalah pertarungan di luar batas eksistensi internal Golkar. Apalagi sekedar Idrus versus Airlangga Hartarto, sebagaimana tulisan DJA.

Hal kedua yakni, untuk apa Golkar digoyang? Pertama, Golkar adalah partai dengan 14,6 % suara pada pemilu 2014. Kedua, Golkar adalah partai yang paling mungkin diperebutkan oleh pihak-pihak yang akan ikut bertarung dalam pilpres 2019 nanti. Ketiga, adanya kebangkitan Orde Baru saat ini.

Setelah disahkannya UU Pemilu 2019, dimana pilpres harus diajukan oleh partai atau gabungan partai dengan Presidential Threshold (PT) 20 %, merujuk pemilu 2014, PDIP dan Gerindra telah melakukan konsolidasi yang gesit. PDIP dengan suara di atas 20 %, tidak memberi isyarat mendukung kembali Jokowi di 2019, sampai saat ini. Sementara Gerindra memastikan tetap mendukung Prabowo dengan segala kekurangan yang ada, misalnya Prabowo semakin tua dan diisukan kesulitan dana logistik.

Partai demokrat, kelihatannya juga tertutup terhadap munculnya tokoh nasional baru di luar keluarga SBY. Padahal keluarga SBY, baik AHY maupun bu Ani yang mulai digadang-gadang sebagai capres ke depan popularitasnya tidak mumpuni.

Alhasil, figur-figur baru di luar partai di atas hanya bisa melihat Golkar sebagai alternatif. Siapakah pihak-pihak yang mungkin ikut bertarung pada 2019 nanti, yang memerlukan Golkar?

Dari figur yang popularitasnya mampu untuk menjadi calon presiden menyaingi popularitas Jokowi dan Prabowo hanyalah Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo.

Selanjutnya, yang penting dicatat adanya kebangkitan "orde baru" saat ini. Kebangkitan ini bersumber dari keyakinan bahwa semasa rezim Jokowi berkuasa, serangan terhadap Islam dan rezim Suharto sangat kuat. Dan, itu dimaknai pula sebagai munculnya kembali kekuatan komunis PKI. Sehingga, sebagai anti tesa, kekuatan "orde baru" harus bangkit kembali, dengan simbolik persatuan Islam dan militer.

Jadi, jawaban untuk apa Golkar digoyang, secara singkat adalah untuk memberi peluang pada Capres baru di luar Jokowi dan mengembalikan Golkar kepada kekuatan "orde baru."

Dengan demikian, maka analisa DJA yang menempatkan Golkar dan pertarungan yang sedang terjadi pada fokus eksistensi internal, mengalami bias. Sebaliknya, guncangan besar bagi Golkar saat ini adalah pusaran politik 2019.

Golkar akan menjadi kekuatan baru bagi calon presiden penantang Jokowi nantinya. Untuk keperluan itu, analisis tokoh terbatas pada Idrus dan Airlangga merupakan "misleading". Serta analisa mahalnya biaya munaslub menjadi tidak relevan. Apalagi kekuatan asing yang mungkin terlibat dimasukkan sebagai variabel penting dalam analisa.

Demikian, disampaikan oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle, pada Klikanggaran.com di Jakarta, Jumat (24/11/2017).

 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X