Rawan Digugat
Semulanya, MCTN beranggapan tak perlu harus izin KESDM & SKK Migas untuk melakukan tender pembangkit listrik tersebut, kacaunya lagi pihak SKK Migas mengamini perbuatan MCTN, tidak melarang, padahal SKK Migas dengan kewenangan yang luar biasa dari negara untuk mengendalikan seluruh KKKS, bisa mencegah sikap kepala batu MCTN itu.
Barulah kemudian pejabat Kementerian ESDM dan SKK Migas tersentak sadar dari tidurnya, yakni setelah Direktur Piutang Negara dari Ditjen Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Lukman Efendi menyampaikan informasi lewat media brifieng (28/5/2021) bahwa DJKN telah mengirim surat kepada KESDM, SKK Migas dan CPI, agar mereka berhati hati dalam mengambil keputusan pengalihan aset negara di blok Rokan, sesuai Permenkeu nmr 140/PMK.06/2020.
Lukman selanjutnya menegaskan, bahwa di bawah pembangkit listrik itu merupakan tanah milik negara oleh karenanya setiap perbuatan hukum disana harus seizin Menteri ESDM sebagai perwakilan negara.
Berkat pesan Lukman itulah, KESDM dan SKK Migas lalu "melunakkan" MCTN untuk meninggalkan proses tender di JP Morgan agar mau bernegosiasi dengan PLN.
Tentunya, pengalihan proses tender ke negosiasi itu bisa membuka peluang digugat oleh kompetitor PLN jika telah dirugikan dalam proses tender yang terlanjur sudah dijalankan tetapi kemudian diubah menjadi negosiasi ini.
Temuan LHP BPK 2006
Sebagaimana telah berulang kali dibahas dan diberitakan, kelahiran pembangkit MCTN menurut LHP BPK 2006 selain bertentangan dengan hukum, juga telah merugikan negara selama 20 tahun.
Di dalam LHP BPK RI tahun 2006 itu jelas dikatakan bahwa ESA (Energy Service Agreement) antara CPI dgn PT MCTN pada 1 Oktober 1998 terkait pembangkit NDC Cogen 300 MW adalah cacat hukum.
Meskipun sebelum, sudah ada persetujuan dari Pertamina BPPKA pada 27 Maret 1997 kepada PT CPI, tetapi dalam pelaksanaan melanggar peraturan yang ada.
Sayangnya, temuan LHP BPK RI tahun 2006 itu tidak ditindak lanjuti oleh kepala BP Migas dan semua penegak hukum saat itu hingga saat BP Migas berubah menjadi SKK Migas setelah putusan Makamah Konstitusi pada13 November 2012, dan juga tidak ditindak lanjuti oleh SKK Migas.
Celakanya lagi, menurut Sekretaris SKK Migas Ir Yunus Taslim pada kami ( 25 /04/2021) bahwa temuan BPK itu telah dihapus oleh pejabat BPK pada tahun 2014, dengan alasan pertimbangan demi kepentingan kepastian operasi dan produksi.
Akan tetapi, ketika kami mintakan konfirmasi kepada Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna pada 26 April 2021 melalui surat elektronik, apakah informasi dari pejabat SKK Migas itu benar?, jika benar apa landasan hukumnya ?, karena fakta tidak bisa dihapus oleh lembaga apapun di negeri ini, kecuali diproses secara hukum ke pengadilan untuk kepastiannya, Ketua BPK tidak menjawab apapun, meskipun WA kami sudah dibaca dengan tanda tercontreng dua warna biru.
Bukankah temuan BPK tahun 2006 itu sangat mengagumkan dan patut di apresisasi oleh semua pihak yang mencintai Negeri ini, bahwa sejak proses pembuatannya ESA itu sudah melanggar KEPRES nomor 16 tahun 1994 dan Buku Pedoman Tata Kerja BP Migas nomor 077 Tahun 2000 Bab II Butir A1, yakni harus dengan mekanisme tender, bukan dengan penunjukan langsung kepada MCTN yang terafiliasi dengan PT CPI sendiri, sehingga terjadi related party transaction atau praktek transfer pricing.
Krusialnya, sampai akhir pemeriksaan, 2 Maret 2006, Tim BPK belum mendapat hasil analisa atau perhitungan yang mendasari keputusan PT CPI untuk tindak membangun sendiri pembangkitnya, tetapi melalui PT MCTN.