opini

Kisah Bill Clinton dan Bergesernya Marketing Politik dari Ideologi Partai ke Persepsi Pemilih

Kamis, 16 Juli 2020 | 10:27 WIB
bill clinton

Akhirnya Bill Clinton pun terpilih kedua kalinya. Ini kemenangan marketing politik yang brilian. Seorang calon presiden dari Partai Demokrat bisa terpilih dalam kondisi kultur pemilih yang lebih sesuai dengan ideologi partai republik.


Bill Clinton terpilih karena ia mengikuti trend zaman. Yang utama bukan ideologi partai tapi preferensi pemilih ! Ini kalimat “wahyu” dalam marketing politik zaman ini.


-000-


Bagaimana kisah Bill Clinton di atas kita potret dalam kanvas yang lebih besar? Ini hikmahnya. Telah terjadi perubahan zaman yang menyebabkan berubahnya marketing politik.


Pertama, kesetiaan pemilih pada partai semakin menurun. Zaman semakin cepat berubah. Perubahan psikologi, orientasi dan persepsi publik berjalan lebih cepat daripada kemampuan partai mengadopsinya.


Semakin banyak pemilih yang merasa tak lagi sejalan dengan ideologi partai. Ini yang menyebabkan menurunkan party ID, loyalitas partai.


Kedua, semakin banyaknya pemilih independen. Zaman modern juga melahirkan semakin banyak pilihan. Individu akan lebih nyaman dengan situasi baru itu jika ia tak terikat dengan kultur lama ataupun komunitas lama. Ia bisa memilih apapun, tergantung kasus dan momen, tanpa harus bersandar terlalu kuat pada ikatan lama.


Partisan pemilih (Paty ID) semakin menurun dan dibarengi dengan peningkatan jumlah pemilih yang independen.


Yang dimaksud dengan partisan pemilih adalah orang (pemilih) yang megidentifikasi dirinya sebagai anggota dari sebuah partai. Pemilih partisan ini terbentuk lewat sosialisasi atau latar belakang dari pemilih.


Umumnya, pemilih yang partisan pasti memilih partai atau kandidat yang diusung oleh partai.


Penurunan jumlah pemilih yang partisan membuat posisi partai di mata pemilih menjadi menurun. Pemilih semakin tidak setia kepada partai. Pemilih kemudian mudah berpindah dari satu partai ke partai lain.


Ketiga, munculnya profesionalisasi politik. Makin meningkatnya jumlah pemilih yang independen membuat pemilih lebih tak terikat. Partai atau kandidat kemudian berupaya mengetahui apa kebutuhan pemilih. Mereka juga berupaya membuat produk politik yang disukai pemilih.


Fokus kemudian bergeser dari ideologi partai kepada preferensi pemilih.


Perubahan ini membutuhkan keahlian khusus, mulai dari membuat riset (penyelidikan pasar) untuk mengetahui keinginan pemilih. Juga keahlian mendesain produk, hingga strategi kampanye yang berbeda. Misalnya memanfaatkan iklan media, dan Public Relations.


Partai kemudian membutuhkan keahlian yang baru, yang tidak dikenal sebelumnya. Partai awalnya hanya berkutat dengan merumuskan ideologi dan platform. Di era baru, partai membutuhkan keahlian berupa kemampuan melakukan penyelidikan pasar. Dibutuhkan juga keahlian membuat segmentasi, targeting pemilih.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB