opini

Kisah Bill Clinton dan Bergesernya Marketing Politik dari Ideologi Partai ke Persepsi Pemilih

Kamis, 16 Juli 2020 | 10:27 WIB
bill clinton


(KLIKANGGARAN)--Kisah Bill Clnton dalam pemilu presiden Amerika Serikat, 1996, tak hanya soal seorang tokoh yang ingin kembali menjadi presiden. Kisah itu juga menggambarkan pergeseran politik, dari ideologi partai kepada preferensi pemilih.


Di tahun 1994, baru dua tahun Clinton menjadi presiden. Ia maju dan terpilih dari partai demokrat. Tapi saat itu, terjadi apa yang disebut revolusi partai republik. (1)


Buku Newt Gingrich berjudul Contract With America meledak di pasar. Buku itu mengedepankan kultur politik konservatif yang menjadi platform partai republik.


Yaitu kebijakan ekonomi yang lebih bergantung pada pasar. Peran pemerintah yang lebih minimal. Pajak yang lebih dikurangi agar peran swasta semakin tumbuh. Perhatian lebih besar kepada keluarga (family values). Dan memberi tempat lebih luas kepada agama di ruang publik.


Menguatnya kultur konservatif itu ditandai oleh kemenangan telak Partai Republik dalam pemilu Midterm 1994. Akibat pemilu itu Republik menguasai House of Representatif secara telak. Selisih Republik dan Demokrat di sana sebanyak 54 kursi.


Di Tahun 1995, Partai Republik juga menguasai senat. Dua senator asal partai demokrat pindah menjadi anggota partai republik. Mereka membaca berubahnya orientasi pemilih Amerika untuk lebih mengadopsi kultur politik konservatif.


Apa yang harus dilakukan Bill Clinton? Ia presiden dari partai Demokrat. Tapi konggres dikuasai oleh partai Republik. Clinton datang dari kultur politik yang lebih liberal sesuai dengan ideologi partainya, partai Demokrat. Tapi mayoritas kultur pemilih lebih konservatif, dan kurang liberal.


Tahun 1996 adalah pemilu presiden. Nasib Clinton di ujung tanduk. Isu, program dan ideologi partai demokrat tak lagi populer. Lawan politiknya adalah Bob Dole, dari Partai Republik, yang memajukan isu, program dan kebijakan yang konservatif.


Banyak yang menduga, Bill Clinton segera kalah dengan telak. Mood dari pemilih sedang tidak berpihak pada kultur politik partainya, partai demokrat.


Tapi Clinton lebih cerdas dari itu. Ia menyewa seorang konsultan politik bernama Dick Morris. Untuk kembali menang, Dick Morris mengubah orientasi politik Clinton. Program, isu, kebijakan yang harus dibawa Clinton harus lebih konservatif. Clinton dipaksa meninggalkan “ideologi lama partai demokrat” yang tak lagi populer di mata pemilih.


Bill Clinton pun disulap mengadopsi apa yang oleh partai republik diejek sebagai calon presiden “Me Too- Ism.” Apapun yang dimajukan oleh saingannya, Bob Dole, Clinton akan mengatakan “Me Too.” Saya juga mengajukan program itu. (2)


Bob Dole mengajukan program kesejahteraan yang lebih konservatif. Untuk mendapatkan bantuan pemerintah, warga diharuskan juga bekerja. Segera Bill Clinton merespon: “Me Too.” Clinton menyatakan, ia mengajukan juga program yang sama. Penerima bantuan sosial pemerintah perlu didorong bekerja.


Bob Dole mengajukan kebijakan yang lebih longgar untuk berdoa di public school. Para guru dan murid lebih dibebaskan jika mereka ingin memulai kelas dengan berdoa lebih dulu. Clinton pun menjawab: Me Too! Ujar Clinton, ia akan membolehkan moment of silence di public school.


Di mata pemilih, akibatnya tak banyak beda antara program dan isu Bill Clinton serta Bob Dole. Yang berbeda hanya masalah personality saja. Sedangkan soal personality, Bill Clinton jauh lebih menarik.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB