opini

Politik Identitas dan Kabinet Rekonsiliasi

Jumat, 5 Juli 2019 | 04:23 WIB
Screenshot_2019-07-05-04-15-27-371_com.android.chrome


 


Dalam kisah perebutan tahta ala Games of Thrones (GoT), Daenerys Targaryen yang perkasa sebagai mother of dragons (ibunya para naga) mengakhiri permainan setelah menghabisi nyawa semua musuh tanpa sisa. Singgasana besi pun berhasil diklaim, tetapi kandas di tangan Jon Snow yang gelisah atas keselamatan umat manusia. Menghentikan langkah Daenerys untuk berkuasa adalah pilihan pahit bagi Jon lantaran ratu berjulukan “breaker of chain” itu bermimpi membebaskan setiap orang dari belenggu perbudakan seantero jagad dengan lengkingan emosi dan amarah. Setelah klaim kemenangannya, bukan kedamaian yang diinginkan, justru perang digemakan. Ia menyerukan kepada para loyalis militan dan tak takut mati (pasukan Unsullied dan Dothraki) supaya tanpa henti (berperang) membebaskan semua orang dari, menurutnya, hak yang ‘dirampas’ dan ‘diperkosa’.


Orang-orang di tujuh kerajaan (The Seven Kingdoms) pembentuk Westeros sebenarnya tidak pernah setuju dengan Daenerys karena ambisi kekuasaan destruktifnya meskipun ia memiliki darah biru dari ayahnya. Jon Snow pun ditolak menjadi raja oleh pengikut ratu naga akibat pisau valyrian steel miliknya menusuk jantung sang ratu. Akhirnya, para bangsawan Westeros memutuskan untuk memilih raja mereka bukan berdasarkan warna darah yang mengalir melainkan pada kemampuan dan kebijaksanaan memimpin. Tyrion Lannister yang bijak berkata, “seorang pemimpin tidak dilahirkan, tetapi dipilih untuk melayani rakyat.” Maka, Bran the Broken yang masih remaja mereka pilih sebagai raja karena kemampuan dan pandangannya sebagai gagak bermata tiga.


Analogi Games of Thrones sangat cocok disandingkan dengan pertarungan perebutan tahta orang nomor satu di Indonesia. Bukan pada identifikasi aktornya, meskipun Presiden Jokowi pernah mengutip panasnya drama GoT pada acara KTT IMF-Bank Dunia di Bali tahun 2018 lalu, tetapi fenomena dan filosofinya sangat mengena. Di forum itu, Jokowi mengingatkan bahwa sengitnya perang dagang antar negara seperti dasyatnya perang dalam GoT di mana masing-masing hampir melupakan musuh utama mereka yang seharusnya diperangi bersama. Kerjasama mau tidak mau harus diwujudkan demi melawan kekuatan kegelapan di saat musim dingin nan beku sudah di depan mata. Ternyata, kegelapan itu adalah tekanan ekonomi global yang terjadi di saat pertarungan Pilpres dan Pileg yang penuh sesak dengan kebencian, emosi membara, amarah, dan adu domba akibat berita bohong yang berseliweran di mana-mana. Hoax diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi secara massal sehingga korban berjatuhan berakhir di penjara dan alam baka.


Mungkin tidak perlu jauh mengorek luka akibat kepentingan berbeda. Menang atau kalah tentu saja sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Yang jelas, Dia Yang Maha Bijaksana tidak mungkin memberikan keputusan tanpa alasan yang tepat, pastinya yang terbaik bagi makhluk-Nya. Itu pandangan teologis teman saya saat memberikan ceramah agama. Paling tidak, mirip dengan principle of plenitude-nya Arthur O. Lovejoy (1964) dalam bukunya The Great Chain of Being. Lovejoy berpandangan bahwa sebagaimana sifat-Nya, Tuhan yang Maha Adil dan Maha Sempurna menciptakan segala sesuatu di alam semesta secara melimpah yang barang tentu ciptaan-Nya itu bersifat adil dan sempurna pula.


Pandangan demokratisnya, ‘vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan)’. Maksudnya, apa yang dikehendaki oleh mayoritas, itu yang ditetapkan sebagai ‘keputusan’ Tuhan. Meski kadang-kadang suara Tuhan tidak didengar, yang dipercaya malah suara broadcast yang sengaja diviralkan di media sosial itu.


“Ya begitulah era post modern, kebenaran itu niscaya dikonstruksi oleh kepentingan,” kata Ayub, tetangga saya yang rajin nonton youtube.


Ternyata, dia berani berkata demikian lantaran sering mendengar ungkapan, “Di era post truth, kebohongan yang diulang terus-menerus akan diterima menjadi kebenaran.”


Hal itu bisa dibenarkan dengan tesisnya Paul Robbins dalam buku Political Ecology (1976) yang menyebutkan bahwa ‘everything is socially and politically constructed’ (segala sesuatu dibuat atau dikonstruksi secara sosial dan politik).” Bagi Robbins, kebenaran atas segala sesuatu bukan semata-mata karena proses yang lebih baik/akurat atau kebenaran hakiki atas sesuatu itu, tetapi lebih karena kemampuan mengakses dan memobilisasi kekuasaan sosial untuk menciptakan konsensus sebuah kebenaran. Kalau kata Michel Foucault, ‘the power of knowledge’ yang menguasai dan mengendalikan sesuatu, bahkan mengendalikan kebenaran.


“Masalahnya, pengetahuan yang mengkooptasi kebenaran di Pilpres dan Pileg saat ini berasal dari berita-berita hoax di medsos atau media abal-abal yang sengaja dibuat untuk mengkonstruksi kebohongan yang seolah-oleh benar,” celoteh Sukiman, teman diskusi saya yang pernah jadi wartawan media online.


Biasanya, orang menyebut berita hoax itu sebagai ‘fake news’. Namun, tidak berhenti sampai pada berita, kabar bohong itu sudah naik level menjadi ‘kebenaran’ sehingga orang Boyolali menyebutnya ‘fake truth’ atau kebenaran palsu.


Sebagai salah satu orang yang paham teori post-modern dan konstruktivisme, saya sering mengingatkan teman-taman di group WhatsApp untuk tidak mudah mempercayai ‘kabar angin,’ apalagi hanya dikutip dari laman Facebook, Twitter, Instagram, atau dari link berita online non mainstream meski menggunakan istilah atau simbol agama. Justru, kata Paul R. Brass, manipulasi atas simbol-simbol agama adalah cara paling ampuh dilakukan para elit untuk meraih kepentingan mereka (lihat Paul R. Brass (1979) “Elite Groups, Symbol Manipulation and Ethnic Identity among Muslims of South Asia,” dalam D. Taylor and M. Yapp (penyunting). Political Identity in South Asia. London: Curzon Press).


Demi kekuasaan, dalam the process of ‘symbol selection’, para elit itu lebih memilih simbol-simbol yang bersifat divisive (memecah belah) daripada yang composite (memadukan). Elit-elit Muslim di Asia Selatan merasa bahwa jalan ini adalah yang paling efektif untuk memelihara dan mendapatkan kekuasaan politik (lihat Fancis Robinson (1979) “Islam and Muslim Separatism,” dalam D. Taylor and M. Yapp (penyunting). Political Identity in South Asia. London: Curzon Press).


Oleh karena itu, politik identitas lebih dipilih oleh para politisi tanah air untuk meraih kekuasaan lantaran minimnya gagasan konstruktif membangun negeri. Saya sepertinya setuju dengan seorang ‘profesor’ filsafat yang kritis di berbagai forum menyebut hilangnya akal sehat dalam dunia politik kita. Ketidakmampuan membangkitkan wacana dan merumuskan ide visioner jadi alasan pokok bagi eksploitasi identitas berbeda demi meraih keuntungan politik. Mengkonstruksi kebenaran palsu adalah cara paling mudah untuk memperuncing sentimen identitas sehingga terjadi bipolarisasi dukungan sebagai pendukung ulama atau pengikut penista ulama, konstituen partai Allah atau loyalis partai setan, menuruti ijtima’ ulama atau durhaka pada ulama.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB