Yang patut diacungi jempol adalah soal keberpihakan foundation kepada peningkatan kualitas SDM masyarakat Sumba. Bayangkan, setiap murid hanya dikenakan biaya Rp 1,5 juta untuk masa belajar selama 18 bulan. Sementara, biaya pendidikan selama 18 bulan itu tak kurang dari Rp 75 juta. Itu artinya, foundation mensubsidi sekitar 97,5 persen dari total biaya.
Di Sumba Hospitality Foundation itulah mereka digembleng menjadi hotelier yang mumpuni. Semua pelajaran tentang food & beverage, front desk, housekeeping, sampai kepada sales & marketing, bahkan event organizer. Lulusan Sumba Hospitality tidak saja terserap di Nihi, tetapi bahkan sudah ada yang bekerja di banyak hotel mewah di luar negeri.
Di mata Doni Monardo, kolaborasi Nihi dengan Sumba Hospitality Foundation adalah contoh yang patut ditiru dan dikembangkan. Basisnya adalah community development. Pola pemberdayaan masyarakat, akan menjamin perbaikan strata ekonomi di daerah, serta jaminan kelestarian alam atau lingkungan.
Konsep serupa pernah dicetuskan Doni Monardo sesaat setelah kunjungannya ke Katingan, Kalimantan Tengah beberapa waktu lalu. Potensi lahan gambut di sana, sangat berpeluang untuk dikembangkan menjadi sebuah destinasi wisata eksklusif, dan bisa dijual mahal. Tentu saja ini bagian dari upaya mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut.
Matahari sudah lama lelap dalam peraduan. Begitu banyak yang kami bincangkan malam itu.
Saya pun ber kelakar, “kita harus kuatkan kementrian PU dan Perhubungan, PU tugasnya membangun jalan, utamanya akses ke objek wisata, sedangkan kementrian perhubungan memperbanyak bandara dan pelabuhan demi kemudahan dan kenyamanan akses. Tonjolkan keunggulan yang tidak dimiliki negara lain. Niscaya, Indonesia akan kokoh menjadi surganya wisatawan dunia.”
Sebagai bentuk kelakar, ya sekedar kelakar. Sekiranya anda kurang sepakat kelakar saya di atas, juga tidak apa apa. Tabik. (*)
Penulis: Egy Massadiah, _jurnalis senior, konsultan media, menulis sejumlah buku serta pembina Majalah “Jaga Alam”