Pariwisata Indonesia harus dibangun dengan sebuah filosofi. Ini penting. “Jangan melawan kehebatan orang (negara) lain, tapi lawanlah dengan keunggulan yang tidak dimiliki orang (negara) lain,” ujar Doni.
Contoh kongkrit, hotel Nihi adalah sebuah anomali dari stigma kata “mewah” atau luxury di bidang sarana akomodasi. Model seperti Nihi-lah yang seharusnya dibangun dan dikembangkan di objek-objek wisata Indonesia. “Jangan bangun hotel berbentuk bangunan tinggi. Tidak mungkin kita bisa mengalahkan hotel pencakar langit super mewah yang ada di New York, Shanghai, dan kota-kota besar modern lain,” katanya.
Sebaliknya, bangunlah resort di hutan-hutan, di lahan gambut, di tepi pantai, di pinggir hutan bakau, dan tempat-tempat eksotik lain, yang bukan kekuatan negara lain. Tentu dengan memperhatikan dan merawat alam agar tidak rusak. “Terbayang kan, bagaimana kalau ada resort di tengah hutan. Beberapa kamar dibangun di atas pohon. Itu yang harus dijual kepada turis asing yang kaya-kaya. Termasuk kepada konsumen domestik dari kelompok the have,” papar Doni.
Sajikan Lokal
Sekilas hal itu mengingatkan saya pada satu peristiwa yang melibatkan nama Jusuf Kalla pada tahun 2013, meski dalam konteks yang berbeda. Begini ceritanya.
Alkisah, para tokoh yang tergabung dalam Centrist Asia-Pacific Democrats International atau CAPDI bertemu untuk membahas peranan mereka dalam rekonsiliasi konflik dan antisipasi perubahan iklim. Kedua topik itu menjadi fokus agenda sidang kedua Majelis Umum CAPDI di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (20/5/2013).
Konferensi CAPDI saat itu, dihadiri ratusan peserta dari 19 negara. Beberapa tokoh penting yang hadir, antara lain, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, mantan Presiden Filipina Fidel Ramos, mantan Ketua DPR Filipina Jose de Venecia, dan mantan Perdana Menteri Nepal Madhav Kumar.
Sebagai tuan rumah, JK memperhatikan detail sampai ke soal jamuan. Bahkan untuk menyiapkan hidangan buat para tokoh CAPDI, panitia mendatangkan chef hotel bintang lima asal Jakarta. Tersebutlah, chef menyiapkan menu steak.
Sontak JK protes, “Eh, apa ini! Bubarkan! Kalian setengah mati bikin steak, belum tentu bisa melawan steak yang biasa mereka makan di negara asalnya. Ganti!”
JK pun secara spesifik meminta panitia menyiapkan menu udang, kepiting, ikan bakar baronang, cobe-cobe, palumara, dan menu-menu lokal lainnya.
Seorang panitia melempar usul, dan mencoba menyela, “Tapi, pak…. Nanti kasihan para perdana menteri terkena asap ikan bakar.” Sambil tertawa JK, menjawab, “Biar saja. Biar mereka merasakan atmosfer kuliner khas Indonesia. Saya yakin, itu akan membuat mereka terkesan.”
Kepada chef pun, JK mencoba memberi pemahaman tentang pentingnya “menjual” lokalitas Indonesia, termasuk dalam hal kuliner. Kepada orang Barat, jangan sekali-kali menghidangkan steak, tapi sajikan nasi gudeg, mangut, sayur daun kelor, ikan tuna, aneka olahan sagu, dan lain-lain. Soal di lidah mereka cocok atau tidak, itu soal lain. Tapi kesan yang kita berikan, itu yang akan mereka ingat sepanjang hidupnya, begitulah memang.
Keberpihakan Lokal
Nah, kembali ke Nihi Sumba. Hotel resort ini benar-benar menjual eksotisme alam Sumba. Harganya pun tidak murah. Salah satu kamar di resort ini ada yang tarifnya 10.000 dollar AS per malam, atau setara dengan Rp 150 juta per malam.
Eksotisme Nihi juga terletak pada SDM yang 90 persen lokal. Mungkin Anda bertanya, darimana mendapatkan SDM hospitality yang unggul? Anda jangan salah. Di sana ada Sumba Hospitality Foundation. Di situlah tempat putra-putri Sumba belajar hospitality.