opini

Mengapa Kasus Korupsi PT Pertamina Menjadi Skandal Berskala Besar dan Sangat Signifikan dalam Konteks Tata Kelola Energi Nasional?

Kamis, 18 Desember 2025 | 14:43 WIB
Pertamina

KLIKANGGARAN -- Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina yang diperkirakan mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp968,5 triliun merupakan peristiwa penting yang memerlukan perhatian akademik dan kebijakan publik.

Skala kerugian tersebut tidak hanya menunjukkan adanya penyimpangan yang luas dalam tata kelola korporasi negara, tetapi juga mengindikasikan persoalan struktural dalam sistem pengawasan, akuntabilitas, dan integritas lembaga pengelola energi nasional.

Dalam perspektif governance, kasus ini mencerminkan minimnya efektivitas kontrol internal dan eksternal terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis.

Baca Juga: Gizi Beracun: Menakar Ulang Standar Keamanan Pangan dalam Program Presiden

Sektor energi merupakan sektor kunci yang menopang stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Ketergantungan terhadap pasokan bahan bakar minyak menjadikan tata kelola energi sebagai komponen vital dalam penyelenggaraan negara.

Ketika sektor ini tersentuh praktik korupsi, dampaknya meluas ke berbagai dimensi kehidupan sosial-ekonomi. Penyelewengan dalam proses pengadaan, impor, dan distribusi BBM berpotensi menimbulkan kelangkaan energi, kenaikan harga, ketidakmerataan distribusi, serta beban ekonomi bagi masyarakat berpendapatan rendah. Dalam hal ini, korupsi berfungsi sebagai distorsi kebijakan publik dan menghambat terwujudnya keadilan sosial.

Secara empiris, data menunjukkan bahwa kerugian negara yang timbul berasal dari berbagai bentuk praktik ilegal yang berlangsung secara sistemik.

Baca Juga: Rapuhnya Fondasi Energi: Kasus Riza Chalid sebagai Cerminan Kegagalan Sistem Tata Kelola BBM

Kerugian akibat ekspor minyak mentah domestik mencapai Rp35 triliun, sementara penyimpangan dalam impor minyak mentah melalui perantara menimbulkan kerugian sekitar Rp2,7 triliun.

Selain itu, penyimpangan impor BBM melalui pihak perantara menyebabkan kerugian sebesar Rp9 triliun. Kerugian juga muncul dari pembayaran kompensasi yang tidak sesuai mekanisme, yaitu sebesar Rp126 triliun, serta penyalahgunaan alokasi subsidi BBM senilai Rp21 triliun.

Data tersebut menggambarkan bahwa korupsi tidak terjadi dalam satu tahapan tertentu, melainkan terdistribusi di berbagai lini proses bisnis Pertamina sehingga membentuk pola yang sistematis dan terstruktur.

Baca Juga: Krisis Kepercayaan Protes Tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Harapan Reformasi Nyata

Pemerintah secara normatif telah menetapkan kebijakan penguatan pemberantasan korupsi, termasuk melalui pengawasan BUMN, evaluasi sistem subsidi energi, serta peningkatan transparansi. Namun, efektivitas implementasi kebijakan ini masih menghadapi tantangan.

Kompleksitas birokrasi, lemahnya kapasitas institusi pengawas, serta potensi intervensi politik menghambat pencapaian tata kelola energi yang akuntabel. Reformasi penegakan hukum menjadi aspek fundamental. Tanpa independensi dan transparansi aparat penegak hukum, setiap upaya memberantas korupsi berpotensi bersifat parsial dan tidak berkelanjutan.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB