KLIKANGGARAN -- Di era digital yang serba cepat ini, saya sering terpukau-dan kadang cemas-melihat bagaimana bahasa anak muda Indonesia berkembang.
Media sosial bukan hanya menjadi alat komunikasi, tapi juga laboratorium tempat lahirnya istilah-istilah baru yang tak jarang membuat generasi sebelumnya mengernyitkan dahi.
Apakah ini pertanda kreativitas bahasa yang tumbuh subur, atau justru sinyal bahaya atas merosotnya kemampuan berbahasa formal?
Realisasinya, TikTok, Instagram, dan Twitter (atau X) telah menciptakan dunia baru di mana anak muda bebas mengekspresikan diri.
Kata-kata seperti "Sigma," "paksu," "fomo" "ytta" hingga "stecu" bermunculan dan menjadi bagian dari percakapan harian.
Saya melihat fenomena ini sebagai bentuk keberanian generasi muda dalam menentang norma linguistik yang kaku. Bahasa bukan lagi milik institusi, melainkan milik semua yang menggunakannya.
Namun di balik kreativitas itu, muncul kegelisahan yang tak bisa saya abaikan. Banyak remaja kini kesulitan menulis surat lamaran kerja, membuat esai ilmiah, bahkan menyusun pesan formal.
Kemampuan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar mulai terpinggirkan. Sebagai seseorang yang tumbuh di masa ketika KBBI adalah rujukan utama, saya merasa ada jurang yang makin lebar antara bahasa digital dan bahasa formal.
Memang, tidak adil jika kita hanya menyalahkan anak muda. Mereka tumbuh di dunia yang sangat berbeda. Informasi datang dalam potongan singkat-video 30 detik, meme, atau caption instan.
Tidak banyak ruang untuk berpikir panjang dan menulis runtut. Akibatnya, kemampuan menyusun argumen, membangun paragraf logis, atau sekadar memilih diksi yang tepat menjadi tantangan tersendiri.
Tapi mari kita lihat sisi terangnya. Media sosial juga membawa manfaat besar. Banyak anak muda yang belajar bahasa asing secara otodidak hanya dari konten digital.
Lebih mengagumkan lagi, beberapa kreator kini bangga menggunakan bahasa daerah dalam konten mereka. Saya menyaksikan sendiri video TikTok berbahasa Jawa, Batak, hingga Bugis yang viral dan diapresiasi luas. Ini membuktikan bahwa media sosial bisa menjadi alat pelestarian bahasa, bukan penghancurnya.
Yang perlu kita lakukan, menurut saya, adalah mencari titik temu. Dunia pendidikan tidak bisa lagi bersikap puritan dengan hanya mengajarkan bahasa formal.
Sebaliknya, guru harus memahami bahasa gaul sebagai bagian dari perkembangan zaman. Mengajak siswa membedah perbedaan antara bahasa media sosial dan bahasa resmi bisa menjadi cara efektif untuk meningkatkan kesadaran berbahasa mereka.