KLIKANGGARAN -- Di tengah gempuran kemajuan teknologi yang begitu masif, dari kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), hingga revolusi data besar (big data), kita hidup dalam dunia yang bergerak cepat, penuh perubahan, dan sarat kompleksitas.
Di tengah arus tersebut, mahasiswa—sebagai calon pemimpin masa depan—memegang peranan penting sebagai penjaga nalar, agen perubahan, dan pencipta solusi. Namun, di balik kecanggihan teknologi yang mereka nikmati hari ini, ada pertanyaan besar yang patut diajukan: sejauh mana wawasan mahasiswa saat ini berkembang seiring pesatnya kemajuan teknologi?
Mahasiswa masa kini hidup dalam era yang penuh kemudahan digital. Mereka dapat mengakses informasi dari seluruh penjuru dunia hanya dalam hitungan detik. Perangkat lunak berbasis AI, platform e-learning, hingga komunitas daring global membuka peluang luar biasa bagi pembelajaran dan kolaborasi. Namun, kemudahan ini justru menyimpan tantangan tersendiri: banjir informasi tidak otomatis berbanding lurus dengan kedalaman wawasan.
Baca Juga: Kesiapan Mahasiswa dalam Mengambil Keputusan di Era AI
Wawasan bukan sekadar tahu banyak hal, melainkan tentang kemampuan memahami, mengaitkan, dan menyikapi informasi dengan kritis. Kemudahan akses kadang justru melahirkan generasi yang terbiasa dengan ringkasan instan, berpikir serba cepat, namun minim refleksi. Banyak mahasiswa yang bisa menjelaskan teknologi blockchain atau AI secara teknis, tetapi tidak mampu mengaitkannya dengan konteks sosial, budaya, dan etika yang lebih luas.
Di era yang saling terhubung, mahasiswa dituntut tidak hanya menguasai satu bidang ilmu secara sempit, tetapi mampu melihat hubungan antar-disiplin. Sayangnya, wawasan mahasiswa masih banyak yang bersifat silo, terkotak dalam sekat-sekat keilmuan. Mahasiswa teknik bisa jadi canggih dalam algoritma, tapi minim pemahaman tentang etika teknologi. Mahasiswa sosial mungkin kritis terhadap isu kebijakan, tapi belum tentu memahami dasar teknologi yang mereka kritik.
Padahal, permasalahan hari ini—seperti disinformasi digital, bias algoritmik, perubahan iklim berbasis data, atau keamanan siber—menuntut pemikiran lintas disiplin. Oleh karena itu, membangun wawasan interdisipliner adalah hal yang tidak bisa ditunda lagi. Mahasiswa perlu dibekali cara berpikir yang luas: mampu memahami konteks, membangun sintesis, dan mengaitkan beragam perspektif secara bijak.
Baca Juga: Perkuat Kerja Sama Sektor Pertanian, Perumda Simpurusiang Teken MoU Bersama 2 BUMD
Masih banyak yang menyamakan literasi digital dengan kemampuan menggunakan aplikasi, mengoperasikan perangkat, atau berselancar di dunia maya. Padahal, literasi digital yang sejati melibatkan kemampuan untuk mengevaluasi informasi, mengenali bias, memahami dampak sosial dari teknologi, serta menyaring pengetahuan yang valid dari yang manipulatif.
Sebagai contoh, banyak mahasiswa yang mampu menggunakan AI generatif seperti ChatGPT untuk menyusun tugas kuliah. Namun, berapa banyak yang benar-benar memahami bagaimana sistem itu bekerja, potensi biasnya, atau batas etis dalam penggunaannya? Tanpa literasi kritis semacam itu, wawasan mahasiswa berisiko menjadi semu—terlihat canggih di permukaan, namun rapuh dalam nalar.
Perguruan tinggi harus menyadari bahwa perkembangan teknologi tidak cukup direspons dengan menyediakan fasilitas digital atau memperbarui kurikulum secara teknis. Lebih dari itu, kampus harus menjadi ruang yang mendorong mahasiswa bertanya “mengapa” dan bukan sekadar “bagaimana”.
Baca Juga: Penanaman Rasa Tauhid di Kalangan Mahasiswa Saat Ini
Penguatan wawasan bisa dilakukan dengan memberi ruang diskusi interdisipliner, proyek kolaboratif antarjurusan, serta pendekatan pembelajaran yang mengaitkan teknologi dengan isu-isu kemasyarakatan. Mahasiswa perlu didorong tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga penafsir, pengkritik, dan pengarah masa depan teknologi.
Wawasan mahasiswa adalah pondasi utama dalam membentuk arah masa depan bangsa. Mahasiswa yang hanya cerdas secara teknis namun minim pemahaman sosial bisa melahirkan teknologi yang merugikan manusia. Sebaliknya, mahasiswa yang memiliki wawasan luas, kritis, dan berakar pada nilai kemanusiaan akan mampu mengarahkan teknologi sebagai alat untuk membangun peradaban yang lebih adil dan inklusif.