KLIKANGGARAN -- "تعز من تشاء وتذل من تشاء..." (آل عمران : ٢١) — Ayat yang satu ini seakan menjadi pengingat tak terucap bahwa kemuliaan dan kehinaan berada dalam kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sedangkan kita, makhluk-Nya, hanya alat. Begitu mudah keduanya bisa terbalik, hanya dengan sebuah "Kun Fayakun."
Peristiwa viral baru-baru ini, tentang seorang penjual es teh yang tiba-tiba diangkat derajatnya, menyadarkan kita akan betapa mudahnya dunia ini berputar.
Dengan kejadian tersebut, Allah mengangkat seorang yang dihina dan menjatuhkan orang yang dulu merendahkan.
Dalam sekejap, seorang yang dianggap tak lebih dari sekedar pedagang es teh bisa merasakan berkah melimpah, sementara yang menghina harus menanggung malu besar, bahkan mengundurkan diri dari jabatan dan meminta maaf secara terbuka.
Tentu, ini bukan soal status wali atau bukan, namun lebih kepada bagaimana media sosial (medsos) kini menjadi saluran pembelaan untuk mereka yang terzalimi, meski kadang dengan cara yang berlebihan.
Nurani publik, yang mulai jarang kita lihat diperjuangkan oleh pemimpin, pejabat, bahkan agamawan, ternyata masih ada.
Krisis keteladanan yang sudah mendera bangsa ini, kini semakin terasa.
Kita seringkali disuguhkan dengan kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan pengusaha besar, sementara rakyat kecil terus dihimpit.
Aparat yang seharusnya melindungi, malah sering kali terlihat mendukung pihak yang kuat dan menindas yang lemah.
Di sisi lain, tokoh agama yang seharusnya menjadi pelindung moral, malah sibuk memberikan legitimasi pada kekuasaan yang zalim, bahkan terlibat dalam kasus-kasus yang sangat memalukan.
Namun, di tengah kegelapan itu, masih ada cahaya yang bersinar. Ungkapan "no viral no justice" mungkin terdengar seperti ironi, namun itulah kenyataan yang terjadi di negeri ini, di mana hukum seakan hanya berjalan jika ada sorotan publik.
Meski terkadang nyinyir dan kelewatan, netizen menjadi suara hati bagi mereka yang tak berdaya. Itulah yang kini menjadi harapan kita.
Meskipun medsos bisa menjadi pedang bermata dua, di sinilah kita menemukan nurani publik yang kadang terlupakan oleh mereka yang seharusnya menjadi teladan. Seakan ada harapan di balik gegap gempita dunia maya ini.