KLIKANGGARAN -- Kamu pernah nggak, denger suara nenek atau kakek ngobrol pakai bahasa daerah? Ada rasa hangat yang muncul, seperti sedang duduk di tengah cerita yang penuh kenangan. Sayangnya, makin ke sini, suara itu semakin jarang terdengar.
Generasi muda lebih sering berbicara dalam bahasa Indonesia baku, bahasa gaul, atau bahkan bahasa Inggris. Di satu sisi, ini menunjukkan adaptasi kita terhadap dunia modern. Tapi di sisi lain, apa kabar dengan dialek lokal yang selama ini jadi bagian penting dari identitas kita?
Dialek lokal bukan sekadar bahasa. Ia adalah cerminan budaya, tradisi, dan cara pandang suatu komunitas terhadap dunia. Setiap ungkapan dalam dialek membawa nilai-nilai yang mendalam.
Contohnya, dalam bahasa Jawa ada pepatah ngono yo ngono, nanging ojo ngono, yang mengajarkan untuk selalu menjaga etika meskipun menghadapi situasi sulit. Ungkapan seperti ini adalah hasil dari perjalanan panjang budaya dan kehidupan masyarakat yang patut kita pelihara.
Namun, globalisasi datang membawa perubahan besar. Bahasa asing seperti Inggris kian mendominasi berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan hingga pekerjaan. Di sisi lain, bahasa Indonesia juga terus memperkuat posisinya sebagai pemersatu bangsa.
Akibatnya, dialek lokal, yang dahulu menjadi bagian penting dari keseharian kita, mulai tersisihkan. Generasi muda sering kali merasa canggung atau bahkan malu menggunakan bahasa daerah. Dialek lokal dianggap kuno, tidak keren, atau tidak relevan dengan kehidupan modern.
Padahal, menjaga dialek lokal bukan berarti menolak kemajuan. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk memastikan bahwa identitas budaya kita tetap hidup di tengah arus globalisasi. Dialek lokal tidak hanya penting sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai jembatan untuk mempererat hubungan antar generasi.
Ketika kita berbicara dalam dialek daerah dengan orang tua atau kakek-nenek, kita sebenarnya sedang merawat tradisi dan menciptakan ruang dialog yang lebih akrab.
Lalu, bagaimana cara kita menghidupkan kembali dialek lokal? Mulailah dari langkah kecil. Gunakan dialek daerah di rumah, di tempat nongkrong, atau bahkan di media sosial. Kalau kamu suka bikin konten, coba deh buat video, puisi, atau lagu dengan dialek lokal. TikTok, Instagram, dan YouTube bisa jadi panggung besar untuk memperkenalkan bahasa daerah ke audiens yang lebih luas.
Pemerintah dan komunitas budaya juga punya peran besar. Pendidikan berbasis lokal perlu diperkuat, misalnya dengan memasukkan pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum sekolah. Selain itu, festival budaya, lomba cerita dalam bahasa daerah, dan pementasan seni tradisional adalah cara efektif untuk merayakan dan melestarikan dialek lokal.
Di tengah semua ini, ada satu hal yang perlu kita ingat: dialek lokal adalah bagian dari siapa kita. Ia adalah akar yang menjaga kita tetap berdiri kokoh, meskipun dunia terus berubah.
Menghidupkan kembali dialek lokal bukan hanya tentang nostalgia, tapi juga tentang merawat identitas dan kebanggaan kita sebagai bangsa yang kaya akan budaya. Jadi, yuk mulai sekarang, coba bicara dalam dialek daerahmu, meskipun hanya satu-dua kalimat. Karena dari langkah kecil itu, kita bisa menjaga sesuatu yang besar: jiwa budaya kita.
Jangan sampai suatu hari nanti, dialek lokal hanya menjadi cerita dalam buku sejarah. Mari kita jadikan ia tetap hidup, berkembang, dan relevan, agar anak-cucu kita nanti masih bisa mendengar keindahan bahasa leluhur kita.
Penulis: Ardi Aziz Setyawan (Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Pamulang)