opini

Kasus Bunuh Diri Usia Remaja Terus Meningkat, Apa yang Salah dari Generasi Muda?

Kamis, 26 Oktober 2023 | 08:36 WIB
Ilustrasi (Vira)

KLIKANGGARAN -- Lagi-lagi kita dikejutkan dengan sejumlah pemberitaan mengenai kasus bunuh diri. Belum lama ini, dalam dua hari, dua kasus dugaan bunuh diri terjadi di Semarang. Pertama dilakukan NJW (20) warga Ngaliyan, Semarang, mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri yang ditemukan tewas di Mal Paragon Semarang, Selasa (10/10/2023). Kasus kedua, seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Semarang berinisial EN (24) warga Kapuas, Kalimantan Tengah, yang ditemukan meninggal dunia di dalam kamar indekosnya, Rabu (11/10/2023). Pada hari berikutnya, seorang pemuda di Desa Pamotan, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang ditemukan tergantung di sebuah pohon di lahan milik warga, Kamis (12/10/2023). (dilansir dari Republika.co.id)

Miris! Namun, begitulah kenyataannya. Generasi muda saat ini seolah dengan mudah memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai alasan. Tak dapat dimungkiri bahwa tingginya kasus bunuh diri di kalangan generasi muda disebabkan oleh banyaknya tekanan dalam hidup, seperti masalah ekonomi, percintaan, pertemanan, bahkan beban tugas sekolah atau kuliah yang semakin kacau. Tidak hanya itu, tingginya ekspektasi orang tua terhadap anak juga dapat memicu remaja nekat mengakhiri hidupnya.

Tujuan Hidup yang Salah

Meningkatnya angka bunuh diri seolah menunjukkan bahwa remaja saat ini tidak memahami tujuan hidupnya yang sebenarnya. Tujuan hidup generasi muda saat ini umumnya cenderung kapitalistik, seperti kekayaan, kesuksesan, dan kemakmuran. Benar bahwa kapitalisme memang sering membuat manusia menjadi lemah, bahkan salah dalam menjalani kehidupan. Anggapan bahwa hidup harus selalu senang cenderung membuat remaja hoopless saat menghadapi kesulitan dalam hidupnya. Seseorang yang lupa atau bahkan tidak memahami tujuan hidup sesungguhnya akan gagal dalam menjalani kehidupnya.

Kita ambil contoh dalam sistem pendidikan saat ini. Sistem pendidikan sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) tidak dapat memahamkan kita tentang tujuan hidup yang sesungguhnya. Sistem ini berhasil mencetak generasi rapuh yang ketika dihadapkan dengan masalah hidup, bukannya mencari solusi, mereka justru mudah depresi, bahkan berujung pada bunuh diri. Generasi saat ini yang mudah putus asa lebih memilih jalan instan dan lari dari masalah tersebut.


Generasi yang seperti ini merupakan contoh generasi yang tidak paham akan jati dirinya sebagai seorang hamba. Mereka menjalani hidup berbekal pada apa kata hatinya, sesukanya sendiri, tidak paham standar halal-haram dalam beraktivitas yang akhirnya mengambil pilihan dengan pertimbangan sendiri.

Serangan Arus Liberalisme terhadap Generasi Muda

Liberalisme artinya bebas. Paham Liberalisme ini beranggapan “Tuhan tidak boleh ikut campur urusan manusia dan manusia harus bebas dari ikatan-ikatan atas nama Tuhan ataupun agama.” Dalam buku berjudul Tentang Kebabasan (salah satu dokumen pendiri tatanan dunia liberal, John Stuart Mill), Mill mengatakan bahwa setiap individu mempunyai hak untuk menjadi arsitek kehidupan mereka sendiri, untuk memilih siapa yang akan dinikahi, di mana harus tinggal, apa yang harus diyakini, apa yang harus dikatakan. Negara tidak mempunyai hak untuk melanggar kebebasan memilih individu warga negara, asalkan orang tersebut tidak merugikan orang lain.

Tidak ada amar ma’ruf nahi munkar dalam paham ini dengan dalih privasi. Dengan dalih privasi, seseorang menjadi bebas menentukan jalan hidupnya, termasuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Dengan dalih privasi, remaja masa kini lebih senang menyakiti dirinya daripada meluapkan emosi.

Paham Sekularisme Solusi yang Bermasalah

Generasi muda saat ini senang menyelesaikan masalah dengan cara instan atau pakai caranya sendiri. Solusi ibadah dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah dengan anggapan “Tidak semua masalah bisa selesai dengan salat.” Di sinilah sekularisme berperan. Mereka beranggapan bahwa dalam menyelesaikan masalah tidak perlu membawa-bawa agama.

Generasi yang seperti ini biasanya lahir dari keluarga dalam bingkai sekularisme. Cara pandang yang materialistis menjadikan ayah dan ibu sibuk bekerja hingga anak-anak kehilangan sosok orang tuanya. Jangankan pendidikan agama, sedari lahir hingga memasuki usia sekolah, nilai-nilai yang ditanamkan justru nilai kehidupan yang sekuler. Akhirnya, anak-anak tumbuh tanpa bekal agama. Mereka tidak paham hakikat penciptaan manusia. Mereka tidak mengerti apa tujuan hidup manusia dan bagaimana yang harus dilakukan sebagai hamba Allah Taala.

Begitu pula setelah mereka memasuki jenjang pendidikan. Kurikulum pendidikan yang sekuler tidak menghadirkan agama sebagai mata pelajaran pokok. Pelajaran agama hanya dijadikan sampingan yang tidak diprioritaskan. Alhasil, anak-anak benar-benar hidup tanpa bimbingan agama. Mereka jadi tidak bisa membedakan mana yang boleh dilakukan dan yang tidak.

Islam Solusi Tuntas

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB