KLIKANGGARAN -- Bulan Juli adalah waktu dimulainya tahun ajaran baru. Seperti tahun ajaran sebelumnya, saya mendapat amanah untuk menjadi wali kelas di kelas 1 ikhwan, tepatnya di kelas 1A. Sebanyak 18 santri bergabung di kelas 1A, jumlah yang cukup meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Salah satu santri yang ada di kelas 1A bernama Afnan. Ia cukup unik, agak “berbeda” dengan santri lain di kelas 1A. Ia tidak bisa duduk dengan tenang, selalu berjalan mondar-mandir layaknya jamaah yang sedang tawaf mengelilingi Ka’bah.
Ia kerap tantrum, berteriak, dan menangis apabila keinginannya tidak terpenuhi, atau apabila ada sedikit saja yang mengusik kenyamanannya.
Selama menjadi guru, baru kali ini menemukan tipe santri yang seperti itu sehingga membuat bingung bagaimana harus menyikapinya. Sering kali ikut tersulut emosi saat menghadapi tingkahnya yang “berbeda” itu.
Merasa terganggu dengan kebiasaannya mondar-mandir, hingga kerap memaksanya untuk duduk tertib di bangku. Kadang tidak memedulikan saat ia menangis dan berteriak.
Menganggapnya sebagai santri yang menyusahkan dan mengganggu. Berasumsi bahwa ia masuk kategori anak berkebutuhan khusus (ABK). Bahkan, merasa bersyukur apabila ia tidak masuk ke sekolah. Tetapi, sikap yang saya tunjukkan itu justru membuat Afnan semakin menjadi.
Anak Itu Unik
Satu waktu, saya berkesempatan untuk mengikuti kajian Ustadz Abdul Kholiq. Beliau adalah sosok ustadz yang concern tentang dunia anak, terutama pembahasan terkait bakat anak. Dari sana, saya mendapatkan pencerahan bahwa setiap anak adalah unik, memiliki karakter dan bakatnya sendiri.
Tidak ada anak yang berkebutuhan khusus, tetapi yang ada adalah anak yang berkehebatan khusus. Dari sana saya juga mulai memahami bahwa anak, baik itu anak sendiri maupun murid, dapat merasakan emosi dalam diri kita. Anak dapat merasakan apa yang kita rasakan.
Apakah kita sedang bahagia, sedang marah atau kesal, atau pun rasa ketidaksukaan kita terhadap kehadirannya bisa juga dirasakan oleh anak. Karena itu, anak akan memberikan respons yang sama terhadap perasaan kita padanya.
Mengubah Cara Berinteraksi
Saya jadi termenung, mengingat bagaimana cara saya berinteraksi dengan Afnan selama ini. Bagaimana rasa ketidaksukaan saya juga menumbuhkan rasa ketidaksukaan dalam diriya. Bagaimana rasa ketidakpedulian saya juga menjadikannya tidak peduli.
Saya mulai berusaha menata emosi, memperbaiki sikap dan cara pandang terhadap Afnan. Dimulai dengan menyambut kedatangannya ke kelas dengan sapaan hangat dan senyuman, menanyakan hal-hal yang menjadi kesukaannya, memvalidasi perasaannya saat ia menangis atau berteriak. Memberinya hadiah-hadiah kecil sebagai bentuk apresiasi.
Resonansi Rasa
Artikel Terkait
Pemkot Lubuk Linggau Raih Opini WTP Kali ke 12 dari BPK
Di Bawa Kepemimpinan Herman Deru, Pemprov Sumsel Berhasil Pertahankan Opini WTP ke-9
Pemkab Musi Rawas Raih Opini WTP atas LHP LKPD Tahun Anggaran 2022
DPD A-PPI Nagan Raya : Pentingnya Peran Insan Pers Dalam Mengawal Pilkada danJangan terjebak Opini Publik dalam Polarisasi Politik di Media Sosial
Pengaruh Media dalam Membentuk Opini Politik di Masyarakat
Hotman Paris Sebut Kasus Lisa Mariana vs Ridwan Kamil Sudah 'Buntu': Bukti Baru Tak Pengaruhi Opini Publik
OPINI: Dokter Sang Predator, Pintar Tak Bermoral