Resonansi Rasa: Menyikapi ABK (Anak Berkehebatan Khusus)

photo author
- Senin, 23 Juni 2025 | 12:43 WIB
Ilustrasi Anak (Dok. Freepik)
Ilustrasi Anak (Dok. Freepik)

KLIKANGGARAN -- Bulan Juli adalah waktu dimulainya tahun ajaran baru. Seperti tahun ajaran sebelumnya, saya mendapat amanah untuk menjadi wali kelas di kelas 1 ikhwan, tepatnya di kelas 1A. Sebanyak 18 santri bergabung di kelas 1A, jumlah yang cukup meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Salah satu santri yang ada di kelas 1A bernama Afnan. Ia cukup unik, agak “berbeda” dengan santri lain di kelas 1A. Ia tidak bisa duduk dengan tenang, selalu berjalan mondar-mandir layaknya jamaah yang sedang tawaf mengelilingi Ka’bah.

Ia kerap tantrum, berteriak, dan menangis apabila keinginannya tidak terpenuhi, atau apabila ada sedikit saja yang mengusik kenyamanannya.

Selama menjadi guru, baru kali ini menemukan tipe santri yang seperti itu sehingga membuat bingung bagaimana harus menyikapinya. Sering kali ikut tersulut emosi saat menghadapi tingkahnya yang “berbeda” itu.

Merasa terganggu dengan kebiasaannya mondar-mandir, hingga kerap memaksanya untuk duduk tertib di bangku. Kadang tidak memedulikan saat ia menangis dan berteriak.

Menganggapnya sebagai santri yang menyusahkan dan mengganggu. Berasumsi bahwa ia masuk kategori anak berkebutuhan khusus (ABK). Bahkan, merasa bersyukur apabila ia tidak masuk ke sekolah. Tetapi, sikap yang saya tunjukkan itu justru membuat Afnan semakin menjadi.

Anak Itu Unik

Satu waktu, saya berkesempatan untuk mengikuti kajian Ustadz Abdul Kholiq. Beliau adalah sosok ustadz yang concern tentang dunia anak, terutama pembahasan terkait bakat anak. Dari sana, saya mendapatkan pencerahan bahwa setiap anak adalah unik, memiliki karakter dan bakatnya sendiri.

Tidak ada anak yang berkebutuhan khusus, tetapi yang ada adalah anak yang berkehebatan khusus. Dari sana saya juga mulai memahami bahwa anak, baik itu anak sendiri maupun murid, dapat merasakan emosi dalam diri kita. Anak dapat merasakan apa yang kita rasakan.

Apakah kita sedang bahagia, sedang marah atau kesal, atau pun rasa ketidaksukaan kita terhadap kehadirannya bisa juga dirasakan oleh anak. Karena itu, anak akan memberikan respons yang sama terhadap perasaan kita padanya.

Mengubah Cara Berinteraksi

Saya jadi termenung, mengingat bagaimana cara saya berinteraksi dengan Afnan selama ini. Bagaimana rasa ketidaksukaan saya juga menumbuhkan rasa ketidaksukaan dalam diriya. Bagaimana rasa ketidakpedulian saya juga menjadikannya tidak peduli.

Saya mulai berusaha menata emosi, memperbaiki sikap dan cara pandang terhadap Afnan. Dimulai dengan menyambut kedatangannya ke kelas dengan sapaan hangat dan senyuman, menanyakan hal-hal yang menjadi kesukaannya, memvalidasi perasaannya saat ia menangis atau berteriak. Memberinya hadiah-hadiah kecil sebagai bentuk apresiasi.


Resonansi Rasa

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X