Bencana fiskal, selain menjadi problem serius bagi pemda, juga mencerminkan kapasitas dan derajat kesehatan APBD setiap tahunnya.
Hasil pemetaan postur APBD di 24 kabupaten dan kota di Sulsel bisa di-klaster menjadi empat kategori ditinjau dari aspek kesehatan fiskal, yaitu:
- Klaster pertama, yaitu APBD yang fiskalnya sehat wal’afiat. Postur APBD seperti ini respon bayarnya sangat tinggi. Angka-angka pendapatan dan belanja sangat rasional dan realistis serta akuntabel dalam pelaksanaannya, tidak ada utang dan realisasi pendapatannya sangat tinggi;
- Klaster kedua, yaitu APBD yang fiskalnya rawat jalan. Postur APBD seperti ini respon dan daya bayarnya rendah. Diandaikan orang, kondisinya kurang sehat, sakit-sakitan, dan panas dingin. Namun, masih beraktivitas setiap hari. Hanya wajib kontrol sesuai dengan petunjuk dokter. Kondisi APBD seperti ini kurang sehat, angka-angkanya tidak stabil, selalu dirasionalisasi, di-refocusing, dan di-realokasi;
- Klaster ketiga, yaitu APBD yang fiskalnya rawat inap. Kondisinya cukup mengkhawatirkn. Kalau orang sakit sudah dibantu dengan infus. APBD seperti ini tidak bisa lagi bergerak tanpa utang. Butuh pinjaman untuk menjadikan APBD bisa berfungsi dengan baik. Biasanya APBD yang sudah masuk kategori rawat inap, strategi pelaksanaanya gas-rem. Artinya, kegiatan yang mendesak harus digas atau diprioritaskan. Sementara kegiatan yang kurang mendesak, harus direm alias ditunda;
- KLaster keempat, yaitu APBD yang fiskalnya masuk ICU. Seperti orang sakit, kondisinya sudah koma. Sakitnya sangat parah, butuh bantuan oksigen, dan berbagai peralatan medis lainnya.
Keempat klaster fiskal APBD yang digambarkan di atas mencerminkan kondisi APBD saat ini, khususnya di 24 kabupaten dan kota di Sulsel.
Hal tersebut terjadi karena faktor kondisi fiskal nasional yang kurang baik, masih berjuang dengan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kapasitas perekonomian nasional, seperti pengendalian inflasi secara terukur.
Kondisi fiskal yang tidak stabil tersebut tentu berdampak terhadap kondisi fiskal di daerah yang cukup serius. Untuk menormalkan, perlu langkah-langkah strategis dan terobosan tingkat tinggi, agar janji-janji politik kepala daerah, khususnya program 100 hari kerja bisa dituntaskan. (*)
Penulis adalah Pemerhati Pelayanan Publik di Tana Luwu