(KLIKANGGARAN) — Suasana ruang sidang Praperadilan Nadiem Makarim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu, 8 Oktober 2025, sempat mendadak hening.
Pemicunya adalah Hotman Paris Hutapea, kuasa hukum mantan Mendikbud tersebut, yang menyampaikan analogi tajam soal prosedur penyidikan kasus dugaan mark up pengadaan laptop Chromebook.
Dalam argumennya, Hotman menilai penyidik Kejaksaan Agung telah menetapkan tersangka tanpa memeriksa secara substansial tuduhan yang ada.
Ia menggambarkan situasi itu dengan analogi “kasus pelecehan” yang tidak menyebut siapa korbannya — sebuah kritik yang langsung menggugah perhatian di ruang sidang.
“Kalau saya misal melecehkan putri orang, tentu harus ditulis dong namanya si Erni, si Susi,” ujar Hotman di hadapan hakim tunggal Ketut Darpawan.
“Kalau begini, memperkaya orang lain, tapi saya baca BAP-nya sama sekali tidak ada pertanyaan siapa yang diperkaya. Apakah itu profesional?” imbuhnya.
Analogi sederhana itu menjadi viral di luar ruang sidang. Di satu sisi, publik menilai Hotman sedang menguak dugaan pelanggaran prosedur penyidikan.
Namun di sisi lain, ia memperlihatkan betapa batas antara prosedur dan substansi hukum sering kali kabur di ruang praperadilan.
Prosedur vs Substansi: Perdebatan Panas di Persidangan
Dalam sidang itu, ahli hukum pidana Universitas Al-Azhar, Suparji Ahmad, hadir sebagai pihak yang memberikan pandangan hukum terkait batasan praperadilan.
Perdebatan tajam pun terjadi antara Hotman dan Suparji, terutama soal apakah praperadilan hanya menguji prosedur, atau boleh menyentuh substansi perkara.