1. Optimisme penetapan pertumbuhan ekonomi yang tinggi boleh tapi harus realistis dan mempunyai dampak bagi masyarakat luas, bukan sekedar angka yang ‘dipoles’ dan jauh dari realita, sehingga menimbulkan polemik. Pemerintah harus fokus pada peningkatan daya beli masyarakat yang saat ini stagnan (rata-rata 4,87%), menciptakan lapangan kerja yang layak karena TPT 2024 masih 4,78% tertinggi di ASEAN, serta mengurangi kesenjangan (Gini Ratio Maret 2025 sebesar 0,375) masih tinggi.
2. Reformasi perpajakan jangan sampai membebani masyarakat. Pemerintah harus kreatif dengan memperbaiki manajemen, sistem, dan tata kelola perpajakan. Fragmentasi pajak antara pusat dan daerah juga harus segera disikapi agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat karena beban pajak semakin tinggi. Dan yang terpenting, sistem perpajakan, bea-cukai dan PNBP harus terintegrasi dan transparan, dapat dipantau oleh publik.
3. Terjadi potensi resentralisasi fiskal sehingga ruang fikal daerah semakin sempit. Pemerintah hanya fokus pada program-program direktif Presiden, tanpa mempertimbangkan janji politik Kepala Daerah yang juga harus didanai oleh APBD. Sinkronisasi, harmonisasi, dan sinergi antara APBN dan APBD belum berjalan dengan baik. Perlu sistem yang kuat untuk mengikis ego sectoral antar K/L dan Daerah.
4. Program-program Direktif Presiden menyedot dana besar, tanpa studi kelayakan, tanpa partisipasi publik, sehingga sangat riskan diselewengkan. Untuk itu, pemerintah perlu mengembangkan sistem keterbukaaan informasi yang mudah diakses oleh publik. DPR RI, BPK RI dan Organisasi Masyarakat Sipil juga perlu mengembangkan Sistem Pengawasan yang ketat.