Tak mendapat jawaban dari suaiminya, Neni berusaha mencari tahu di luar. Hingga akhirnya Neni tahu penyebab suaminya tidak mau bekerja lagi. Parmin pernah bercerita kepada temannya di Mushola yang tak jauh dari pasar, bahwa belakangan lelaki itu tiba-tiba merasa berdosa setiap usai menjagal ikan-ikan lele itu.
Perasaan berdosa dan bersalah itu terus menghantui hingga kerap terbawa mimpi. Parmin sengaja menyembunyikan perasaan itu dari istrinya. Mungkin belum tepat waktunya untuk memberi tahu kepada Neni.
“Oh jadi itu, Kang, yang membuat kamu gak mau jualan ikan lagi? Kang, rika kiye kudu takon maring ustade. Justru kematian ikan-ikan itu lebih baik dengan cara seperti itu," Neni mencoba manasehati, meskipun kalimat itu dikutipnya dari seorang teman di pasar.
“ Ya Nen, bener, aku sudah tanya pada ustad,.....tapi” kalimat Parmin terputus karena tiba-tiba tangannya bergetar. Parmin kembali membentur-benturkan tangan itu ke tembok. Neni tak bisa berbuat banyak. Tangan suaminya kembali diikatkan ke tiang ranjang.
***
Meski sudah berangsur sembuh. Namun hampir enam bulan Parmin tak mau bekerja. Neni terpaksa berangkat sendiri ke pasar. Namun belakangan wanita itu mulai jarang berjualan. Warga pasar justru sering melihat wanita muda beranak tiga itu duduk-duduk di salon tak jauh dari los pasar ikan. Bahkan tersiar kabar lagi, bahwa Neni kerap dibawa seorang pria muda.
Kabar inilah yang kemudian sampai ke telinga Parmin. Dada pria bertubuh gempal ini bergejolak. Muka lelaki itu tak bisa menyembunyikan kecemburuannya. Kepalan tangannya gemeretak, matanya merah.
Saat Neni pulang, Parmin menahan diri berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya. Parmin mulai menyelidik. Pria yang sempat kecewa karena saat menikah Neni sudah tidak perawan lagi itu terkejut. Gelang ditangan dan kalung yang dibelikannya sudah tak terlihat lagi.
“Sudah aku jual kang, maklum kita sudah bukan orang kaya lagi. Kita butuh uang untuk makan setiap hari," Neni dengan cepat membaca maksud pikiran suaminya yang sejak tadi memperhatikan lengan dan lehernya. Parmin melihat perubahan yang cukup banyak pada istrinya. Bahkan wanita itu mulai berani menghardik, saat Parmin berusaha meminta penjelasan.
Kali ini, Parmin terpancing. Mukanya merah seperti ingin menerkam istrinya “Dan kamu melampiaskan kekecewaanmu dengan berselingkuh, bercinta dengan lelaki yang sepantaran dengan anakmu,” Parmin tak bisa menahan diri dan menelanjangi semua rahasia istrinya. Diam-diam Parmin berhasil mengorek kisah-kasih istrinya dengan seorang pria yang lebih pantas disebut anaknya.
Tetapi pemuda itu terlihat seperti anak orang kaya, dengan mobil sedan dan sesekali sepeda motor besar yang kerap membawa Neni melayang dalam pergumulan terlarang.
“ Dasar PL , pelacur, perempuan materialistis. “ Parmin mengumpat dengan kata-kata yang sama sekali tak pernah keluar dari mulutnya. Tetapi kalimat itu tak pernah didengar Neni yang setiap pagi bergegas pergi. Parmin tahu persis, istrinya bukan pergi ke pasar ikan.
***
Entah kenapa, Parmin tiba-tiba ingin kembali berjualan ikan. Rasa dendamnya telah melumat habis rasa dosa yang pernah dirasakannya. Wajahnya tegang, tangannya kembali memainkan golok yang baru diasahnya. Parmin kembali menjadi penjagal para ikan-ikan itu.
Sejumlah pedagang memandangi Parmin yang terlihat aneh. Tak biasanya lelaki itu datang tanpa basa-basi dengan sesama penjual ikan. Seperti tak memperdulikan orang di sekitarnya, Parmin kembali menangkapi ikan dan memukuli kepala binatang itu. Kali ini tak hanya pingsan, tetapi kepala ikan itu remuk hingga mati.