Dan, Rimba selalu akan memelukku dari belakang jika dia melihatku terlebih dahulu. Tapi, mata itu, mata itu milik Rimba. Ya, senyum di mata itu senyum Rimba.
“Halo,” sapa pemuda itu.
“Ma, siapa dia?”
Aku menjauh dari pemuda itu dengan air mata sudah memenuhi wajahku. Kutatap Mama penuh tanda tanya. Baru kusadari betapa sakit kehilangan Rimba. Baru kusadari juga aku tak pernah mengeluarkan air mata untuknya.
“Mama tak bisa menipuku, dia bukan Rimbaku!” jeritku tak terkendali, tubuhku limbung.
Tiba-tiba nyeri kurasakan menghunjam dadaku, saat sepasang tangan memelukku dari belakang. Kulihat Mama sudah berderai air mata. Direntangkannya tangan padaku.
Segera aku melepaskan diri dari pelukan itu dan berlari ke dalam pelukan Mama. Baru kusadari, aku kesakitan atas kepergian Rimba. Sangat kesakitan. Kupeluk Mama erat, bertahan agar tubuhku tak jatuh.
Baca Juga: Seminggu Sebelum Wafat Laura Unggah Puisi Berjudul 'Mama', Pertandakah?
“Mama tahu kamu sangat kehilangan. Tapi, kenapa semua kau simpan sendiri?”
Aku membiarkan Mama mencium, mengusap wajahku, dan kembali memelukku. Aku membiarkan juga tangan itu kembali memelukku dari belakang.
Aku segera berjuang menguasai diriku, lalu kami duduk bertiga di sofa panjang. Kutatap sekali lagi mata itu, dan air mataku kembali mengalir deras.
“Dia Raka, Sayang. Saudara kembar Rimba. Selama ini kami tak pernah menceritakan keberadaannya karena Raka tak mau.”
“Lalu, selama ini?”
“Raka tinggal di Belanda bersama neneknya. Pada saat kalian kritis waktu itu, Rimba sempat tersadar dan menitipkan pesan. Dia meminta agar matanya diserahkan pada Raka, dan meminta Raka untuk menggantikan posisinya. Rimba meminta itu agar bisa selalu berada di sisimu.”
“Jadi?”