*
Setelah berhari-hari menyeberangi lautan, akhirnya sampailah mereka di sebuah pulau yang indah. Pulau itu adalah Bumi Selatan, tempat Pen dan keluarganya tinggal. Pohon-pohon dengan bunga aneka warna tumbuh di sepanjang pantai. Aneka burung beterbangan dan berkicau indah.
Pen menunduk dengan hati-hati, Putri Mini meluncur turun dari punggung Pen dengan tatapan takjub. Matanya mengitari pantai, senyum gembira terkembang di bibir.
“Inikah, Pen, rumahmu?”
Belum sempat Pen menjawab, tiba-tiba muncul pemuda tampan. Tubuhnya tak lebih besar dari Putri Mini, di kepalanya tersemat mahkota yang sangat indah. Pen berjalan mendekat dan segera membungkukkan badan di depan pemuda itu. "Salam, Pangeran," katanya sambil mengangguk hormat.
“Pen, kamu membawa tamu?”
“Benar, Pangeran. Putri Mini namanya,” jawab Pen, lalu menoleh pada Putri Mini. “Putri Mini, perkenalkan Pangeran Mana, pemimpin kami di Bumi Selatan.”
“Selamat datang di negeri kami, Putri Mini. Senang sekali mendapat kunjungan dari putri yang cantik jelita,” sambut Pangeran Mana dengan ramah.
"Terima kasih, Pangeran. Negeri Anda sangat indah dan menyenangkan," jawab Putri Mini.
"Bolehkah aku ikut tinggal di sini?" tanyanya kemudian.
"Oh, tentu saja boleh, Putri," jawab Pangeran. “Tapi, dengan satu syarat,” lanjutnya.
“Apakah syarat itu, Pangeran?” Wajah Putri Mini mendadak menjadi murung. Ada kekhawatiran di matanya.
“Aku adalah pemimpin negeri yang tidak mempunyai permaisuri. Bersediakah engkau menjadi permaisuriku, Putri Miniku yang cantik jelita?” Pangeran Mana berlutut di hadapan Putri Mini, menunggu jawaban.
Mata Putri Mini yang indah terbelalak, sementara Pen melompat-lompat gembira. Setelah sadar dari rasa kagetnya, Putri Mini mengangguk malu.
Esoknya pulau itu sangat ramai. Pesta pernikahan Pangeran Mana dan Putri Mini diselenggarakan dengan meriah. Burung-burung dengan aneka warna berkicau tanpa henti, para Peri Air menari dengan gemulai di tepi pantai.