Yusuf melanjutkan dana tersebut diharapkan bisa mengungkit daya beli masyarakat yang tertekan akibat pandemi covid-19. Ujung-ujungnya, daya beli ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi lantaran porsi konsumsi rumah tangga kepada pertumbuhan ekonomi masih mayoritas, yakni 58,14 persen pada kuartal I 2020.
Data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas juga mencatat daya beli masyarakat hilang sekitar Rp362 triliun akibat tekanan pandemi. Dengan demikian, tak heran jika kucuran dana penanganan Covid-19 ini sangat dibutuhkan masyarakat untuk memulihkan daya beli mereka.
Jika tidak, lanjut Yusuf, maka potensi resesi ekonomi terbuka lebar. Pasalnya, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi akan menyentuh minus 3,8 persen pada kuartal II 2020 dipicu berhentinya aktivitas ekonomi akibat implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Karenanya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal selanjutnya harus diupayakan kembali positif agar Indonesia lepas dari jerat resesi.
"Perdebatannya, apakah kuartal III akan minus juga atau positif ini juga akan bergantung dari penyaluran dana PEN," imbuhnya.
Senada, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan kendala penyaluran dana penanganan terbagi menjadi masalah teknis dan fundamental. Secara teknis, ia mengungkapkan pemerintah menghadapi sejumlah kendala misalnya infrastruktur teknologi belum siap dan komunikasi antar aparat tersendat akibat penerapan PSBB maupun jaga jarak fisik (physical distancing).
"Namun, lebih banyak masalah non teknis dan masalah non teknis ini jauh lebih sulit," katanya.
Sepakat dengan Yusuf, Fithra mengatakan masalah fundamental yang dihadapi pemerintah adalah kurangnya harmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Oleh sebab itu, ia menilai pemerintah perlu membuat gugus tugas dana penyaluran dana penanganan Covid-19. Gugus tugas ini terpisah dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Nantinya, anggota gugus tugas harus mencakup pemerintah pusat dan daerah serta lembaga terkait lainnya, misalnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga aparat penegak hukum.
"Tidak ada kata terlambat, pembentukannya bisa secara informal tapi yang penting perlu segera dilakukan," katanya.
Menurutnya, jika pemerintah tidak segera memaksimalkan penyaluran dana penanganan covid-19, maka Indonesia akan kehilangan momentum pemulihan ekonomi. Ia mengatakan momentum pemulihan pertumbuhan ekonomi cukup sempit, sehingga ketika Indonesia kehilangan momentum tersebut maka berpotensi kehilangan kesempatan untuk tumbuh di level normal kembali.
"Kalau biasanya kita bisa tumbuh di level 5 persen, mungkin nanti tidak bisa balik lagi ke 5 persen," tuturnya.
Momentum itu, lanjutnya,diduga terjadi sejak Juni lalu. Indikasinya adalah tingkat inflasi Juni sebesar 0,18 persen. Angka ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya, Mei 2020 yang tercatat sebesar 0,07 persen.
Sumber : cnn Indonesia