Menelisik Kritik terhadap Penyalahgunaan Kekuasaan Pemuka Agama dalam Novel "Cantik Itu Luka"

photo author
- Jumat, 5 Juli 2024 | 21:18 WIB
Novel Cantik itu Luka
Novel Cantik itu Luka


KLIKANGGARAN -- Novel Cantik Itu Luka sukses melambungkan nama Eka Kurniawan, sekaligus menjadi karya fenomenal dalam potret kesusastraan di Indonesia bahkan dunia. Meski ceritanya rumit, kompleks, dan banyak tokoh yang tidak waras, tapi keseriusan dalam novel ini hebat bukan main. Terlebih lagi dengan penambahan unsur surealis dan realisme magis yang menjadi kekhasan penulis lulusan Filsafat UGM itu.

Cantik Itu Luka tentu saja sudah banyak dibahas dalam kajian ilmiah, esai, bedah buku, atau sekadar tongkrongan di warung kopi. Wajar, ini novel memang kualitasnya nomor wahid. Bahkan saking seringnya, dosen sastra sudah bosan sampai-sampai melarang mahasiswa untuk memilih novel tersebut sebagai subjek penelitian.

Namun, karena Dewi Ayu merupakan tokoh sentral yang paling nyentrik di sana, hal itu akhirnya menggiring perbincangan mengenai Cantik Itu Luka dominan ke arah feminisme, sosiologi, maupun kolonialisme. Jadi sedikit sekali ada yang membahas dengan kacamata religiusitas untuk mengungkap nilai-nilai keagamaan di dalamnya dalam novel itu.

Memang, mahakarya itu bukan prosa religius bak novel-novel khas Asma Nadia atau Habiburrahman El Shirazy. Tetapi, ada sudut pandang agama yang sangat menggelitik untuk ditelusuri. Dengan apik dan luar biasa, Eka telah meramu unsur religiusitas yang dibalut oleh kritikan penuh humor satire.

Dalam Cantik Itu Luka, agama tidak sekadar berfungsi sebagai elemen tambahan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan karakter, konflik, dan pesan moral yang ingin disampaikan pengarang.

Di sana, Eka Kurniawan menggunakan unsur agama untuk memberikan kritik terhadap masyarakat dan institusi keagamaan, menunjukkan bagaimana agama bisa dipakai sebagai alat kekuasaan atau bagaimana praktik-praktik keagamaan bisa mengalami distorsi dalam konteks tertentu. Misalnya, tentang seorang pemuka agama yang imannya luluh lantak karena melihat pelacur, dan banyak cerita konyol lainnya.

Eka Kurniawan menggambarkan bagaimana agama, yang seharusnya menjadi sumber moral dan spiritual, dapat disalahgunakan sebagai alat kekuasaan, baik itu secara ekonomi, politik, maupun sosial.

Tokoh-tokoh yang memiliki otoritas agama dalam novel ini kerap memanfaatkan posisi mereka untuk kepentingan pribadi atau untuk menindas orang lain. Misalnya, pemuka agama yang seharusnya menjadi teladan moral justru terlibat dalam praktik-praktik yang tidak etis, dan menunjukkan bahwa kekuasaan agama bisa menjadi korup.

Jika dihubungkan dengan realitas kehidupan kita, pemuka agama memang memiliki pengaruh besar di masyarakat Indonesia. Sayangnya, pengaruh ini kadang-kadang disalahgunakan untuk tujuan politik. Faktanya, beberapa oknum pemuka agama memanfaatkan mimbar keagamaan untuk mendukung atau menentang calon politikus bukan berdasarkan prinsip moral, tetapi demi keuntungan pribadi yang bersifat transaksional.

Problematika dari penyalahgunaan kekuasaan agama juga sering kali menyebabkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Di Indonesia, kelompok agama minoritas seperti Kristen, Hindu, Buddha, dan kelompok kepercayaan lokal sering menghadapi tekanan dan marginalisasi. Akhirnya, hal tersebut menjadi suatu konflik sosial yang amat pelik.

Kemudian, ihwal yang paling menyebalkan adalah pemuka agama yang kerap menggunakan pengaruh dan kewenangan mereka untuk menjadikan umat sebagai ladang bisnis.

Mereka menggunakan mimbar keagamaan untuk mempromosikan produk, bahkan memanfaatkan jaringan keagamaan untuk mendapatkan proyek bisnis. Praktik tersebut tentu merusak integritas pemuka agama, karena mereka telah mengaburkan batas antara kewajiban spiritual dan kepentingan pribadi.

Padahal, jika ingin kembali pada prinsip fundamental Islam, prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan menghormati hak-hak orang lain tanpa memandang status sosial atau agama mereka adalah hal yang sangat ditegaskan dalam beragama. Maka, menyalahgunakan kekuasaan agama untuk kepentingan pribadi tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang mendasar.

Dari Abu Dharr al-Ghifari r.a. berkata, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "Wahai Abu Dharr! Janganlah kamu merasa bangga kepada seorang pun karena ibadah, tidak pula karena keturunan, karena Allah tidak memandang wajah-wajah kalian dan tidak pula amal-amal kalian, melainkan Allah memandang hati-hati dan amal-amal kalian." (HR. Muslim)

Hadits di atas jelas menegaskan jika dalam Islam sangat ditekankan untuk menggunakan kekuasaan atau otoritas agama dengan penuh tanggung jawab. Menggunakan agama sebagai alat untuk menindas atau mengeksploitasi rakyat adalah tindakan yang sangat dilarang dalam Islam. S

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Insan Purnama

Sumber: Resensi

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X