Guru bimbel mengajar di sebuah tempat belajar yang berbeda dengan sekolah. Guru bimbel mengajar di tempat belajar yang lebih sedikit siswanya, lebih fleksibel waktunya, lebih singkat durasinya, lebih kecil ruangannya. Alhasil, pembelajaran pun disesuaikan, tidak sama dengan pembelajaran di sekolah.
Bimbel dianggap lebih praktis karena memang bimbel dibatasi durasi, baik durasi saat pembelajaran berlangsung maupun durasi satu semester pembelajaran. Karena itu, mau tidak mau bimbel “mengompres” materi pembelajaran sekolah seefektif mungkin.
Kelebihannya, bimbel dianggap lebih praktis karena inti-inti materi saja yang dibahas. Tidak berpanjang lebar. Kekurangannya, bisa jadi ada materi yang tidak diajarkan atau, ketika bimbel tersebut memiliki silabus, akan terjadi ketidaksinkronan waktu pembahasan 1 atau 2 materi karena “pengompresan” tersebut. Bisa jadi di sekolah masih materi ke-1, di bimbel sudah masuk materi ke-2.
Baca Juga: Alamaaak, Bu Tri Rismaharini Ngamuk Lagi di Gorontalo! Apa Sebabnya Ya?
Guru Sekolah: Lebih Luas karena Durasi yang Panjang
Guru sekolah memiliki waktu yang panjang bersama siswa, baik saat pembelajaran berlangsung maupun selama satu semester atau satu tahun pembelajaran. Secara tempat, guru sekolah pun lebih leluasa. Banyak hal yang mendukung pembelajaran. Ada ruang komputer, ada laboratorium, ada lapangan olahraga, ada taman, dan lain-lain.
Dengan lingkungan demikian, guru sekolah tidak bisa disamakan dengan guru bimbel. Juga sebaliknya. Apalagi berbicara jumlah siswa dalam satu kelas. Berbeda sekali pastinya. Di sekolah tentu lebih banyak daripada di bimbel. Otomatis teknik pembelajaran pun berbeda. Ruangan yang besar dan luas di sekolah otomatis memengaruhi bagaimana pembelajaran di sekolah. Sebagai contoh, guru bimbel yang biasa dengan kelas kecil dan jumlah siswa sedikit belum tentu bisa mengajar di sekolah yang kelasnya lebih besar dan dengan siswa yang lebih banyak. Jelas ini membutuhkan penyesuaian terlebih dahulu.
Pentingnya Sinergi Bimbel dan Sekolah
“Saat sekolah masih daring, bimbel sudah tatap muka.”
Kata-kata di atas penulis dapatkan dari salah satu bimbel di Jakarta. Tentunya kata-kata tersebut kurang tepat. Kata-kata tersebut secara tersirat seperti menganggap bimbel “lebih baik” daripada sekolah.
Baca Juga: Pernah Denger Lagu Genjer-Genjer? Ini Fakta Tak Terduga di Balik Genjer
Bahkan, tampak juga kesan bahwa bimbel tidak mengikuti aturan pemerintah. Menurut penulis, ini adalah kesalahan pemahaman atau fenomena gagal paham seseorang terhadap hakikat bimbel. Bahkan, kesalahan pemahaman ini dialami pengurus bimbel sendiri. Dia menganggap kucing lebih baik daripada harimau. Apakah pas? Ini yang perlu dievaluasi.
Dari sisi bimbel, sebuah bimbel alangkah baiknya mengevaluasi konsep-konsep peranannya dalam dunia pendidikan yang justru harusnya seiring sejalan dengan sekolah. Konsep bahwa bimbel membantu siswa sekolah untuk melancarkan pembelajaran di sekolah dan sesuai dengan kebijakan pemerintah harus terus diingatkan lagi kepada para guru bimbel, bahkan pengurusnya. Tidak ada istilahnya bimbel mengutip kelemahan sekolah untuk “promo”. Sinergi dengan sekolah justru yang harus digalakkan.
Di samping itu, dari sisi sekolah, apa salahnya sekolah lebih terbuka lagi untuk memberikan kesempatan-kesempatan kepada lembaga-lembaga nonfomal, bimbel misalnya, untuk bersinergi mencerdaskan anak bangsa. Berbagi ilmu, berbagi cara, berbagi informasi pendidikan, dan sebagainya adalah hal-hal yang mungkin bisa dilakukan bersama. Dengan begitu, terjadi kekompakan antara guru bimbel dan sekolah. Imbasnya, siswa pun menjadi lebih percaya diri dan tentunya betah belajar di mana pun.
Baca Juga: MAKI Tanggapi Temuan BPK atas Proyek Peningkatan Jalan SMP 14 Lubuklinggau
Lalu Celetukan Siswa “Guru Bimbel Lebih Baik daripada Guru Sekolah” sebagai Apa?