peristiwa

Pengampunan Nasional

Jumat, 5 Mei 2023 | 17:39 WIB
Yus Dharman,SH.,MM ,M.Kn Advokat/Ketua Dewan Pengawas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia) - (Iyan, Klikanggaran)

Ditulis oleh: Yus Dharman,SH.,MM ,M.Kn
Advokat/Ketua Dewan Pengawas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia). Jakarta 1 Mei 2023.

KLIKANGGARAN -- Ada belasan Peraturan dan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi yang pernah dibuat sejak Indonesia Merdeka. Pada tahun 1957, Peraturan Penguasa Militer Nomor 6 Tahun 1957 atau PRT/PM/06/1957 tentang Langkah Pemberantasan Korupsi. Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membentuk Badan Pengawasan Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan). Pada Tahun 1960, dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ada juga Keppres Nomor 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS, Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban, UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangka pada era Presidan Gus Dur, juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain itu dibentuk juga sebuah Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada tahun 2000. Lingkup wilayah kerja tim ini menyasar pejabat penegak hukum dan unsur masyarakat sipil.

Lebih lajut juga membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) melalui UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaga inilah yang menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU Nomor 20 tahun  2001 Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta masih banyak lagi, saya persingkat saja, agar tulisan tidak terlalu panjang.

Namun, anehnya korupsi bukannya hilang melainkan tumbuh subur, seperti jamur di musim hujan. Menurut laporan Transparency International Indonesia (TII) yang terbaru, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia menunjukan 34 poin dari skala 0-100 pada 2022, angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya, penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global.

Sehingga Indonesia pada CPI 2022 juga semakin tenggelam diposisi sepertiga negara terkorup di dunia dan jauh di bawah rata-rata skor CPI di negara Asia-Pasifik, yaitu 45, naik dari posisi 85 (2019) menjadi posisi 110 (2022), dari 180 negara: Semakin tinggi peringkat, semakin korup negara tersebut.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan membicarakan pemberantasan korupsi tetapi pencegahan, sebab saya masih percaya peribahasa, mencegah lebih baik daripada mengobati. Salah satu penyebab korupsi adalah keinginan gaya hidup hedonis, sehingga menyuburkan sifat serakah dan rakus, ditambah tidak adanya pengawasan yang ketat, plus lemahnya penegakan hukum merupakan akar prilaku korup para pejabat di Indonesia.

Daripada buang-buang waktu ngurusin pemberantasan yang tidak selesai-selesai, seperti masuk labirin, muter-muter disitu-situ saja, lebih baik buat kesepakatan pengampunan nasional, seperti yang pernah digagas Gus Dur. Suharto harus di proses hukum kata Gus Dur waktu itu, nanti jika terbukti bersalah, saya akan memberikan Grasi (bebas), harta jarahan dikembalikan ke negara Republik Indonesia. Jika tidak terbukti bersalah, harta dikembalikan ke Suharto dan keluarga.

Bayangkan, betapa cerdas gagasan Gus Dur, kemana pun pendulum peradilan bergerak uang rakyat dapat ditarik kembali ke Negara, namun ide tersebut ditolak oleh DPR pada waktu itu, sehingga Suharto tidak pernah dinyatakan bersalah atau tidak bersalah, jadinya status Quo.

Akibatnya,  harta hasil maling uang rakyat yang diumpetin di luar negeri otomatis status Quo juga, Suharto dan negara rugi, harta tidak bisa dikembalikan alias parkir hingga hari ini, yang untung negara lain.
Bagaimana jika harta milik rakyat Indonesia yang status Quo tersebut, dipinjam oleh konglomerat hitam, untuk financing pertambangan, nikel, batu-bara, mangaan dan sebagainya.

Sama saja kan artinya, harta maling, di titip di maling, dipinjam maling buat maling lagi, saya mau bilang Goblok tapi nggak berani, takut dikriminalisasi, ya sudah saya simpan di dalam hati saja. Dasar Goblok! Ingat ini umpatan didalam hati, lho!

Jika niatnya ingin Clean Gov, saya sarankan, siapapun yang terpilih pada 2024 setelah dilantik jadi Presiden, tugas utamanya dengan mengadakan pengampunan nasional lebih dulu, kita tiru saja, cara Bapak Nelson Mandela mantan Presiden Afrika Selatan, mengampuni lawan-lawan politiknya saat terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan.

Kita sebagai anak bangsa yang beradab, yang merasa pernah berdosa terhadap republik ini, kumpul di GBK atau Monas bagi penduduk Jakarta, serta di lapangan-lapangan terbuka di Provinsi - Provinsi lain, dipimpin langsung oleh Presiden yang baru saja dilantik, baik Ruring maupun Daring, untuk bertobat nasional.

Halaman:

Tags

Terkini