Penetapan Tsk Mukti Sulaiman dan Nasuhi Bukti ASN Korban Kebijakan Politis Eksekutif dan Legislatif

photo author
- Senin, 5 Juli 2021 | 20:24 WIB
PicsArt_06-17-11.57.00
PicsArt_06-17-11.57.00


Jakarta,Klikanggaran.com - Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi ujung tombak kebijakan Pemerintah yang di komandoi pejabat politis. Dilematis-nya ketika Pimpinan membuat kebijakan yang melanggar aturan perundangan, "turuti atau membantah".


Dugaan korupsi dana hibah Masjid Sriwijaya merupakan kebijakan Kepala Daerah dan Legislatif yang diduga melanggar aturan perundangan. Hal ini dinyatakan oleh mantan Sekda Provinsi Sumsel, Mukti Sulaiman, mengungkapkan pemberian hibah ke Yayasan Pembangunan Masjid Sriwijaya karena kesepakatan Pimpinan dengan pengurus Yayasan, tokoh masyarakat dan disetujui DPRD. Hal itu dinyatakan Mukti kepada awak media sebelum ditetapkan menjadi tersangka (Tsk) dan ditahan di rutan Pakjo.


Kesepakatan tidak diatur dalam penggunaan uang negara karena berpotensi tindak pidana korupsi. Setiap sen uang negara dikeluarkan berdasarkan aturan perundangan atau putusan Pengadilan yang sudah inkrah.


Lalu, apakah hanya keduanya yang harus dinyatakan bersalah karena kebijakan Pemprov dan persetujuan DPRD untuk kebijakan yang diduga melanggar aturan itu?


Penetapan 2 (dua) Tsk ASN merupakan kunci pembuka kotak pandora yang menyimpan suatu yang salah dan siapa yang bersalah sesungguhnya. Penetapan Nasuhi merupakan bukti otentik kesalahan dari awal proses penganggaran, yaitu proposal dan verifikasi sehingga dapat dinyatakan seluruh proses sampai dengan Pergub penjabaran APBD 2015 dan 2017 yang melanggar aturan perundangan.


Kemudian penetapan Tsk kepada mantan Sekda Sumsel memperkuat bukti otentik penganggaran hibah yang tidak sesuai aturan itu karena Mukti merupakan ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).


Persetujuan Gubernur untuk memberikan hibah-hibah dengan pertimbangan Biro Hukum memperkuat kesalahan yang telah dilakukan oleh Biro Kesra dan TAPD, dan kemudian kesalahan itu diperkuat dengan persetujuan DPRD dalam rapat Banggar, Komisi V dan III, serta rapat paripurna.


Titik akhir penganggaran yang salah adalah penanda tanganan NPHD sebagai dasar pencairan dana hibah itu ke penerima hibah Yayasan Pembangunan Masjid Sriwijaya. Ibarat keledai terperosok dua kali di lubang yang sama, penerima hibah membuat salah kembali dengan tidak membuat pertanggungjawaban penggunaan anggaran yang diterima Rp130 miliar.


Jangan terlalu lama penyidik melakukan penyidikan karena potensi intervensi dari pihak tertentu menghambat proses hukum, tetapkan lah semua jadi tersangka, karena salah penganggaran dan menguntungkan diri sendiri, orang lain dan koorporasi sesuai makna pasal 2 dan 3 Undang-undang Tipikor, sebab sudah banyak komentar miring "masuk angin".


Oleh: Deputy MAKI Sumsel, Ir. Feri Kurniawan.


Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: M.J. Putra

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X