Sebuah opini yang ditulis oleh Tri Joko Setiadi, Pemerhati Bahasa Indonesia
Gagasan besar tentang "Revolusi Mental" (terlepas siapa yang pertama kali memakainya) adalah revolusi yang dimaksudkan untuk mentransformasi cara kita bersikap terhadap berbagai hal. Tentu maksudnya untuk transformasi ke arah yang lebih baik. Salah satunya adalah menghilangkan sikap koruptif menjadi sikap reformatif.
Belakangan ini kita dikejutkan oleh dua peristiwa mencengangkan, yaitu penangkapan pelaku korupsi di dua kementerian justru ketika "Revolusi Mental" dijadikan jargon. Sebagai pemerhati bahasa, saya tidak terlalu kaget dengan dua peristiwa itu. Mengapa?
Saya tidak ingin terjerumus dalam pembahasan politik karena pasti akan banyak pro dan kontra. Saya hanya akan bahas dari sisi bahasa.
Di dalam bahasa, ada istilah homograf: homo 'sama' dan graf 'tullisan'. Maksudnya adalah ada kata-kata yang penulisannya sama, tetapi berbeda cara membacanya. Untuk kata "mental", ada dua cara membacanya: "mental" seperti pada kata "bebek" atau "mental" seperti pada kata rujak "bebek".
Sejak awal slogan itu dipopulerkan ulang, saya tidak terlalu yakin bahwa yang dimaksud adalah "mental" seperti pada kata "bebek" dengan mempertimbangkan banyak konsideran. Jadi, ketika ada dua pejabat tertinggi di dua kementerian yang ditangkap KPK, saya semakin yakin dengan asumsi awal saya secara bahasa bahwa yang dimaksud adalah Revolusi Mental: dengan catatan, pemgucapan kata "mental" sama seperti pengucapan pada kata rujak "bebek".