Adalah Thomas Piketty, seorang ekonom Prancis, yang membuat pengakuan—menurut saya—yang membuat bangga para sastrawan. Siapakah Piketty? Ini kutipan berasal dari Wikipedia yang menjelaskan sedikit tentang Piketty: Dia adalah penulis buku terlaris Capital in the Twenty-First Century (2013), yang menekankan tema karyanya tentang konsentrasi dan distribusi kekayaan selama 250 tahun terakhir. Buku tersebut berpendapat bahwa tingkat pengembalian modal di negara-negara maju secara terus-menerus lebih besar daripada tingkat pertumbuhan ekonomi, dan hal ini akan menyebabkan ketimpangan kekayaan meningkat di masa depan. Untuk mengatasi masalah ini Piketty mengusulkan redistribusi melalui pajak global progresif atas kekayaan. Konon, Presiden China, Xi Jinping, memuji-muji buku itu.
Pada tahun 2020, bukunya Capital and Ideology diterbitkan, yang berfokus pada ketimpangan pendapatan di berbagai masyarakat dalam sejarah. Jika buku Capital (2013) dipuji-puji Xi Jinping sebab mengungkapkan bagaimana sistem kapitalis menyengsarakan rakyat, sebaliknya buku Capital (2020) ini diminta direvisi sebab menampilkan data ketimpangan yang terjadi di China.
Dalam buku yang tebalnya 1093 halaman tersebut, Piketty menyatakan bahwa untuk menulis bukunya, atau melakukan penelitiannya, ia memanfaatkan dua sumber data.
Pertama, sumber yang dapat mengumpulkan data-data kuantitatif statistik di mana data seperti itu bisa bisa ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram sehingga lebih memudahkan pembaca untuk membacanya. Bahkan, lebih jauh data-data seperti itu bisa diolah untuk pengukuran-pengukuran lebih jauh.
Kedua, sumber yang dipakai oleh Piketty adalah karya sastra, yaitu novel. Menurut Piketty, kesusastraan memiliki kemampuan untuk menangkap relasi kekuasaan dan dominasi di antara kelompok-kelompok sosial untuk mendeteksi bagaimana ketidakmerataan alias ketimpangan dirasakan dan dialami kehadirannya oleh semua individu di dalam sebuah masyarakat.
Pada buku Capital (2013), Piketty menyebut-nyebut dua novelis, yaitu Honore de Balzac dan Jane Austen. Bagi Piketty, keduanya menawarkan wawasan tak tertandingi ke dalam masyarakat kepemilikan yang berkembang baik di Prancis maupun di Inggris antara tahun 1790-1840. Kedua novelis, begitu kata Pikety, menggunakan pengetahuan mendalam mereka akan hierarki kepemilikan pada masanya. Wawasan mereka lebih mendalam daripada orang lain ke dalam motif-motif rahasia dan ikatan-ikatan rahasia yang eksis dalam keseharian mereka dan mereka memahami bagaimana hal itu memengaruhi harapan dan ketakutan orang-orang dan menentukan siapa bertemu dengan siapa, dan bagaimana laki-laki dan perempuan diplot melakukan pernikahan strategis.
Kata Piketty, kesusastraan itu memiliki kemampuan untuk menangkap relasi kekuasaan dan dominasi di antara kelompok-kelompok sosial dan mendeteksi cara di mana ketimpangan atau ketidakmerataan dialami oleh individu yang hadir dalam masyarakat tersebut.
Sebut sebagai contoh novel Desnity and Desire karya Carlos Fuentes, begitu kata Piketty. Novel yang terbit tahun 2008 beberapa tahun sebelum kematiannya itu memotret kepitalisme Meksiko dan kekerasan sosial yang endemik. Lantas, Piketty menyebutkan novel Bumi Manusia karya Pramudia Ananta Toer, tentu saja penyebutan novel ini bukan hal yang mengejutkan sebab novel tersebut sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Menurut Piketty, Bumi Manusia memperlihatkan kepada kita bagaimana rezim kolonial Belanda yang tidak egeliter bekerja di Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dan buku ini menunjukkan kebenaran yang brutal yang tidak diungkapkan di sumber mana pun. Buku ketiga yang disebut Piketty adalah novel Americanah (2013) karya Chimamanda Ngozi Adichie yang menawarkan kebanggaan, pandangan ironis dari rute-rute migrasi yang dilalaui tokoh utama novel ini, Ifemelu dan Obinze, dari Nigeria ke Amerika Serikat dan Eropa sekaligus menyajikan wawasan unik ke dalam salah satu aspek terpenting dari rezim ketidakmerataan dewasa ini.
Sayangnya, Piketty tidak menyebutkan para penyair atau puisi-puisi yang mengungkapkan ketidakadilan atau ketidakmerataan di dalam masyarakat. Setahu saya, puisi-puisi yang dulu dikenal sebagai puisi pamflet selalu berbicara tentang kondisi sosial politik yang terjadi di masyarakat. Buku kumpulan puisinya Rendra dengan judul “Potret Pembangan dalam Puisi” dilarang beredar pada masa rezim orde baru. Puisi-puisi Wiji Thukul pun demikian. Bahkan, Wiji Thukul tidak menceritakan orang lain dalam puisi-puisi, tetapi menceritakan apa yang dialaminya sendiri, dirasakan sendiri sebagai seorang buruh dan bergaul dengan para buruh.