Narasi Gugat Saja ke MK Bisa Salah Kaprah

photo author
- Sabtu, 10 Oktober 2020 | 16:11 WIB
MK
MK


Sebuah opini yang ditulis oleh Nadirsyah Hosen, Dosen Fakultas Hukum Monash University, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama ANZ, Senior Partner HICON Law & Policy Strategies





Presiden Joko Widodo dalam konperensi pers hari Jumat 9 Oktober 2020 merespons perkembangan protes elemen masyarakat akan disahkannya UU Cipta Kerja (UU CK) mempersilakan untuk mengajukan gugatan uji materi UU CK ke Mahkamah Konstitusi (MK).





Kami berpandangan bahwa narasi silakan menggugat ke MK itu benar, namun jika tidak disikapi dengan hati-hati bisa mengundang kesalahpahaman. Berikut penjelasan kami:





  1. Yang akan digugat ke MK itu harus jelas pasal yang mau dipermasalahkan. Kalaupun dikabulkan, maka yang akan dibatalkan MK hanya pasal yang digugat saja, sementara pasal yang lain aman. Jika pasal yang digugat dan dibatalkan MK itu sangat krusial dalam UU CK maka ada peluang bagi MK untuk membatalkan UU CK secara keseluruhan. Mengingat UU CK bicara tentang banyak bidang maka tampaknya tidak akan ada satu pasal pun yang sangat krusial yang dapat membatalkan UU CK.
  2. Artinya, narasi silakan gugat ke MK itu hanya terbatas pada pasal yang dianggap bermasalah saja. Ini membutuhkan usaha ekstra untuk menggugat UU CK per bidang dan per pasal. Ini perlu kerjasama semua pihak terkait yang hendak melakukan uji materi ke MK.
  3. Tidak semua pasal bisa digugat ke MK. Yang bisa didalilkan itu yang bertentangan dengan UUD 1945. Kadang kala norma hukum dalam UU yang bersifat teknis kebijakan tidak bisa digugat karena ketiadaan pasal cantolan di UUD 1945 yang bisa dijadikan argumen. Misalnya: apakah soal upah buruh di UU CK bisa dicarikan pasal cantolan di UUD 1945 untuk membatalkannya? Kalau soal wewenang pemerintah pusat dan daerah tentu bisa ada cantolannya. Tapi soal kewenangan fatwa halal pada MUI gimana menggugatnya? Bertentangan dg pasal 29? Ini tidak mudah membuktikannya. Jadi perlu hati-hati mau menggugat ke MK agar bisa kuat argumentasi penggugat. Gak bisa cuma menggugat dengan argumentasi bahasa demonstran: “kami gak setuju pasal itu.” Tapi harus menunjukkan bahwa pasal dalam UU CK itu secara nyata dan jelas bertentangan dengan UUD 1945.
  4. Kesimpulannya: silakan gugat ke MK tapi tidak semua hal bisa digugat dan belum tentu gugatan yang diterima itu bisa membatalkan UU CK secara keseluruhan.
  5. Kerjasama semua pihak (akademisi, tokoh masyarakat, ormas) untuk bersatu-padu menggalang pemahaman soal subtansi UU CK yang bertentangan dengan konstitusi juga sangat penting. Langkah yudisial ditempuh. Langkah sosial juga harus dilakukan. Tidak bisa gugatan dilakukan dengan terburu-buru dan tanpa melalui sosialisasi ke publik. Semua harus mendengar keberatan sejumlah pihak terhadap UU CK. Kalau tidak, elemen civil society akan melakukan langkah yang sama kelirunya dengan DPR yang terburu-buru membahas UU CK ini. Tentu ini harus dihindari bersama.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X