Bahasa Indonesia sebagai Identitas Intelektual

photo author
- Sabtu, 23 Mei 2020 | 07:00 WIB
ptbax
ptbax


Kalau kita senang menonton film-film detektif Barat, khususnya menyangkut kasus kejahatan yang dilakukan secara serial, kita akan mendapati langkah pertama yang dilakukan sang detektif setelah mengamati tempat kejadian perkara adalah melakukan "profiling". Tujuannya adalah untuk mempersempit ruang pencarian terhadap pelakunya.


Salah satu aspek dalam "profiling" itu adalah mengidentifikasi tingkat pendidikan pelaku yang dilihat dari pesan yang ditinggalkan (biasanya pelaku kejahatan serial meninggalkan pesan khusus pada korbannya). Jika pesan itu dalam bentuk tulisan, sang detektif akan memganalisis tulisan dari sisi tatabahasa. Jika tatabahasanya baik dan benar, dapat dipastikan sang pelaku berpendidikan tinggi. Sebaliknya, jika tatabahasanya amburadul, dapat dipastikan sang pelaku berpendidikan rendah.


Masalahnya, cara "profiling" seperti itu tidak akan berhasil diterapkan di Indonesia. Apa pasalnya? Masih sangat banyak kalangan terdidik di Indonesia yang tatabahasanya amburadul. Bahkan, masih ada lulusan S3 (doktor, lho!) yang tidak dapat membedakan penggunaan "di" sebagai imbuhan (afiks) atau kata depan (preposisi). Belum lagi jika dicek struktur kalimatnya dalam hal penggunaan subjek dan predikat.


Tidak hanya itu. Kesantunan berbahasa pun belum bisa menjadi salah satu ciri keterdidikan seseorang. Apalagi dalam tingkat yang lebih tinggi, yaitu logika berbahasa. Masih banyak kalangan yang dikenal terdidik, tetapi dari sisi tatabahasa, kesantunan, dan logika berbahasanya tidak tersusun dengan baik.


Maksud tulisan ini justru bukan mencegah kaum terdidik untuk memperbaiki kemampuan berbahasa Indonesia mereka agar tidak mudah tertangkap jika menjadi pelaku kejahatan serial yang senang meninggalkan pesan tertulis pada korbannya. Sebaliknya, tentu banyak manfaat yang akan didapat jika kaum terdidik mau memperbaiki kemampuan berbahasa mereka. Orang lain akan lebih mudah memahami dan menghargai tulisan mereka. Itu adalah sebagian manfaat dari banyak manfaat lainnya.


Tulisan ini tidak lain hanyalah analogi populer sederhana bahwa bahasa Indonesia belum menjadi bagian dari identitas intelektual kita.




Sebuah artikel opini yang ditulis oleh Tri Joko Setiadi, praktisi pembelajaran bahasa Indonesia


Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X