(KLIKANGGARAN)--Menarik melihat perkembangan sistem pembelajaran virtual dampak dari program distance learning, kemudian social distancing dan WFH, bahkan PSBB (pembatasan social berskala besar). Asumsinya apabila guru mencermati dengan baik dan berusaha mandiri sesuai dengan kapasitasnya sebagai guru profesional maka sejatinya dapat menginspirasi siswanya menjadi siswa yang antusias belajar dalam kondisi apapun, serta mempunyai karakter yang tangguh, tangkas, amanah dan pantang menyerah dengan segala kondisi.
Dalam menyikapi persoalan yang cukup pelik ini, kurang lebih dua bulan lamanya proses pembelajaran dilakukan di rumah masing masing siswa, maka seyognyanya guru sebagai profesi mempunyai challenge dalam mencari solusi alternatif dalam model pembelajaran yang melekat sebagai agen perubahan, sesuatu yang bersifat inovatif, sehingga pembelajaran yang diarsiteki oleh guru menjadi poin penting dalam menciptakan siswa-siswa lingkungan rumah, menjadi aktif dan mandiri walaupun dengan segala keterbatasan.
Sehubungan dengan peranan guru masih dominan selama ini maka dalam pengembangan otonomi belajar siswa, boleh jadi ketergantungan dari guru sebagai sumber ilmu satu satunya dalam rentang kehidupan belajar para siswa, mengakibatkan masa transisi dari proses belajar mengajar menjadi panjang dan cukup krusial. Dalam kajian sibernetik. yang implikasinya menjadi budaya begitu kuat melekat di kalangan pelajar kita selama ini, dampak luasnya terasa banyak kegagapan yang terjadi baik dari sisi guru, orang tua dan masyarakat, juga yang tidak kalah pentingnya adalah pemerintah yang diwakili oleh dinas pendidikan di setiap daerah di Indonesia.
Khusus dari kajian teknis implementasi pembalajaran tentu guru yang menjadi sorotan luas. Banyak anggapan yang berkembang bahwa guru belum siap teknologi, kompetensinya dipertanyakan, dan hal lain yang membuat sebagian besar guru serba salah dalam bersikap dan bertindak. Persoalan kuota sebagai prasarana agar akses internet tetap terjaga, persoalan pembiayaan dan yang tak kalah menarik adalah kemarahan orang tua siswa, menghiasi pemberitaan selama ini. Coba tengok ketika ada orang tua yang mempersoalkan kebingungan atas kegundahan para anaknya dengan beban tugas yang cukup banyak, sehingga Mas Nadiem ikut nimbrung memberikan solusi, dan persoalan teknis lain dalam moda daring yang mengemuka selama ini. Persoalan itu belum terjawab serius dan mengakar, seiring waktu berjalan dengan cepat sampai sekarang. Hanya upaya upaya untuk meredam saja agar tidak begitu mencuat.
Sejatinya kementerian pendidikan dan kebudayaan dengan segala kebijakannya membawa pada situasi solutif dengan model model model pendidikan dan pelatihan guru yang memang dibutuhkan dan dapat mengantisipasi kejadian yang terduga. Karena boleh jadi negara kita rentan akan bencana dengan skala nasional, baik bencana alam, social maupun yang sekarang terjadi. Dari program pelatihan tersebut membawa pada suatu harapan agar guru kreatif dan mandiri serta berkompetensi secara merata.
Tantangan guru ke depan dalam proses pembelajaran, sekiranya dapat mendidik kepada para siswanya dengan pendekatan yang mengandung unsur-unsur inovatif dan juga mengusung keterampilan mandiri cara berpikir memahami masalah secara mandiri, atau teknik - teknik untuk memunculkan gagasan-gagasan orisinal dan penuh dengan gagasan baru yang memenuhi unsur value keotonomian belajar siswa selama ini, terkhusus dalam kondisi yang tidak wajar (bencana). Kesiapan ini menjadi kompetensi sosial dan kepribadian guru agar tetap tenang,cermat dan sigap dalam menjawa tantangan ini.
Persoalan otonomi belajar siswa yang diusung dalam tulisan ini, beberapa falsafah mengajar yang perlu dikembangkan guru dalam mendorong otonomi belajar para siswanya yaitu dengan; memberikan perlakuan bahwa siswa patut dihargai sebagai pribadi yang unik. dengan diberikan kesempatan yang luas untuk berekspresi dan berkarya. Mereka perlu didorong pada hal yang faktual dan objektif, menumbuhkan minat dan bakat siswa. Selanjutnya mereka didorong untuk menciptakan budaya ilmiah dalam proses berpikirnya, dan perlu diberi keleluasaan dalam menentukan bagimana mencapainya, serta perlu menciptakan kondisi lingkungan yang terasa nyaman, tanpa adanya tekanan dan ketegangan dan hal hal lain yang menunjang dalam peningkatan otonomi belajar siswa di lingkungan sekolah maupun rumah. Dengan demikian harapan untuk membentuk siswa yang mempunyai daya otonomi belajarnya akan dapat terealisasikan dalam upaya mengusung para siswa Indonesia yang mandiri dan inovatif di masa masa yang akan datang. Dan itu semua teramu dalam implementasi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan mengusung kolaboratif dengan para orang tua siswa dan masyarakat sekitar.
Dalam implementasinya dengan segala keterbatasan, pengkondisikan proses kegiatan belajar ke arah pembelajaran yang mempunyai nilai-nilai otonomi belajar cukup terasa ketika selalu dikondisikan di sekolah seperti penggunaan model model pembelajatan berbasis kontrutivisme yang dilakukan oleh guru seperti; inquiri, discovery learning, cooperative learning, problem based learning, project based learning dan QORI Learning dapat membawa pada situasi pembelajaran yang menyenangkan, dan kondusif dalam mengusung siswa menjadi percaya diri dengan segala keputusannya dalam memecahkan persoalan tanpa bantuan orang lain. Hal tersebut akan berimplikasi kebiasaan siswa berprilaku belajar secara mandiri sekalipun ada di rumah.
Akan tetapi sekali lagi, dalam implemantasinya tidak sedikit permasalahan yang
menghambat daya otonomi belajar siswa di lingkungan rumah, ini tidak lepas dari sistem budaya yang sudah mengakar di masyarakat bahwa segalanya sudah diserahkan kepada lembaga pendidikan untuk pendidikan anak. Dan bisa jadi rendahnya otonomi belajar tersebut terjadi karena atmosfir lingkungan belajar dilingkungan rumah bahkan bisa jadi di sekolah yang kurang mendukung, termasuk sebagian keadaan orang tua siswa yang belum memahami bagaimana menjadi pembelajar, disamping aspek lainnya. Otonomi belajar tidak datang secara tiba tiba. Otonomi belajar akan muncul dan berkembang ketika lingkungan dengan segala perangkatnya, mampu mengkondisikan pikiran siswa melalui arahan dan bimbingan guru maupun orang yang terdekat dengan siswa untuk berpikir lebih terbuka dan menantang, serta menumbuhkan kepercayaan dirinya bahwa dia bisa.
Dengan demikian dalam kondisi kedaruratan selama ini tidak menghalangi bahkan menjadi ujian sesungguhnya agar kemandirian belajar siswa berkembang secara maksimal. Dan inilah implementasi pendidikan karakter sesungguhnya.
Penguatan pendidikan karakter memang berat tapi bukan berarti tidak untuk dilakukan. (Qori, 2020).
Sebuah artikel opini yang ditulis oleh Erik Wahyu Zaenal Qori, M.Pd., Ketua IGPKhI Garut, Lintang Samudra Edukasi • SEGI Garut, Komunitas Cinta Indonesia/KACI#PASTI BISA#