Renungan Kebahasaan Setelah Virus Korona Menyerang, (...)

photo author
- Minggu, 29 Maret 2020 | 07:47 WIB
coronavirus1
coronavirus1


 


Setelah virus korona (Coronavirus disease/Covid-19) menyerang, jenis informasi seperti apa yang akan saya, Anda, atau rakyat Indonesia tuliskan, ekspresikan, atau ungkapkan setelah tanda elipsis (tanda penghilangan informasi) di atas (...)?


Mungkin saja, informasi setelah tanda itu akan sangat beragam--tidak terwakili ruang tulisan--dan saling terhubung sebab banyaknya efek domino yang ditimbulkan. Izinkan saya membatasinya dengan tiga perenungan.


Pertama, "Setelah virus korona menyerang, korban yang terdahulu terduga positif wabah ini berikrar sempat kehilangan kepercayaan diri akibat bingkai negatif dan segala syak wasangka yang disertai aksi eksploitasi informasi data pribadi pasien yang tidak mementingkan etika kemanusiaan."



Bom waktu itu akhirnya meledak di hadapan kita. Setelah diketahui ada warga Indonesia yang terdeteksi virus ini, pemerintah mulai kocar-kacir mempersiapkan penanganan.


Kabar-kabar berbumbu negatif yang tidak bisa dipertanggungjawabkan pun tak tertahankan menyelinap ke beranda netizen tanah air. Intensitasnya pun tak kalah mengkhawatirkan. Hal ini sempat membuat pasien mengalami tekanan batin. Untungnya, kini pasien yang sempat disimbolkan dengan kasus 01, 02, dan 03 itu dinyatakan telah sembuh dan kita saksikan bersama keharuannya. Kita pun menyangka, ini adalah akhir kisah virus korona di Indonesia. Namun, justru sampai tanggal 29 Maret, dari situs resmi pemerintah Indonesia (https://www.covid19.go. id) tentang situasi virus korona (COVID-19) pada 29 Maret 2020 pukul 5.07 WIB, di Indonesia teridentifikasi ada 1.155 orang yang positif, 59 orang dinyatakan sembuh, dan 102 orang meninggal. Angka ini tampak menggeliat setiap harinya.


Kedua, "Setelah virus korona menyerang, kita saksikan atribut kesehatan yang harganya meroket tidak terhindarkan. Masker kian sulit ditemukan ataupun produk penyanitasi tangan ( hand sanityzher) makin meroket di pasaran, apalagi alat pelindung diri (APD) bagi para petugas medis yang belum terdistribusi secara baik, khususnya ke daerah-daerah.


Informasi ini pun telah mencuat terlebih dahulu di berbagai pemberitaan, bahkan mungkin Anda dan rekan-rekan pun sangat geram dengan melejitnya harga masker dan penyanitasi tangan (hand sanythizer) yang "berkali-kali lipat". Kelangkaan, kenaikan, dan ketidakterjangkauan ini berpotensi menjadi "bola salju" yang menggelinding menjadi persoalan yang lebih kompleks di berbagai bidang kehidupan, khususnya perekonomian.


Perenungan ketiga, "Setelah virus korona menyerang, dunia kebahasaan turut merekam fenomena menyoal virus korona . Mulai dari 1) labelisasi/penamaan kasus terduga (kasus 01, kasus 02, dan seterusnya), 2) singkatan ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pengawasan), 3) kosakata serapan seperti suspect 'suspek', lockdown 'kuncitara (kunci sementara ); 'karantina wilayah', serta istilah social distancing 'pembatasan sosial' 'pen+jarak+kan sosial'; ' perenggangan sosial' (postingan Twitter @Ivan Lanin; Rahim Asyik di Ayobandung.com; @ badanbahasakemendikbud) yang belum lama ini direvisi WHO untuk diganti menjadi stilah " physical distancing" (Rebecca Gale dalam https://www.washingtonpost.com, 4) kata "rumah" yang menjadi kosakata terpopuler dengan munculnya istilah "belajar di rumah", "kerja dari rumah" (work fom home), atau "beribadah di rumah. "


Ketiga perenungan di atas tentu sangat dangkal dibandingkan dengan luasnya dampak yang ditimbulkan. Sebagai penikmat khazanah bahasa, saya hanya akan menekankan tindakan WHO yang meralat istilah "social distancing" menjadi "physical distancing" dalam menyosialisasikan kepada berbagai lapisan umat di dunia sebagai konsep pencegahan mandiri.


Tampaknya, WHO juga menyadari adanya kesalahan tafsiran atas istilah "social distancing". Istilah ini menyengat insting manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa dalam kesehariannya rutin berinteraksi sehingga terkesan harus menutup hubungan sosial.


Apalagi, konsep ini memang kurang cocok jika diterapkan di Indonesia yang tampak menganut adat ketimuran, khususnya masyarakat perdesaan yang bersifat komunal. Masyarakat desa, mulai dari kanak-kanak hingga dewasa justru menjadikan "korona" sebagai guyonan. "Awas korona...awas korona!"
Penggantian istilah "social distancing" menjadi "physical distancing" menggambarkan adanya keharusan untuk menyelaraskan konsepsi dan persepsi atas sebuah istilah.


Apalagi, istilah ini dijadikan salah satu amunisi utama dalam mencegah pandemi global tersebut. Sejak kemunculan virus ini, berbagai lapisan etnis menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah masing -masing. Langkah ini sudah tepat mengingat beragamnya suku bangsa di Indonesia.


Apalagi, padanan istilah "physical distancing" ke dalam keseharian masyarakat Indonesia, "pembatasan fisik" harus mampu dipahami secara ringan, mudah dilafalkan, dan bermakna positif.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X