Klikanggaran.com - Copas Tetangga Staff WB: Just information that GOI have issued The Water Resource Law No 17/2019. The effect are rising of direct operating cost of the hydro power electricity (Hydro power operating cost > coal firred operating cost) the last estimated of Hydro power operating cost due the new regullation is about Rp 800,- per kWh. Thanks for kind attn.
COMMENT:
Narasi di atas adalah cuplikan WA laporan teman yang bekerja di World Bank yang dibikin pada akhir Desember 2019, yang intinya melapor ke bossnya di WB bahwa telah terbit UU No 17/2019 tentang Sumber Daya Air yang berdampak kepada kenaikan "operating cost" atau biaya operasi pembangkit hydro power (seperti Saguling dan Cirata) yang tidak kecil, sehingga saat ini lebih besar dari biaya operasi PLTU (batu bara) atau menjadi sekitar Rp800,- per kWh.
Ini semua pasti akan mengubah perhitungan "Feasibility Study" (FS) yang telah dilakukan oleh Konsultan The New Japan Engineering Consultant (Newjec) sebelumnya, karena menurut teman tersebut Newjec belum memasukkan komponen "ugal-ugalanā ini. Padahal sebelumnya menurut teman2 PLTA di PLN, bahwa biaya operasi tersebut di bawah Rp500,- per kWh, atau selama ini pembangkit tenaga air dinilai termurah daripada pembangkit lainnya. Apalagi PLTU milik IPP bisa sekitar Rp1.100,- per kwh, sudah gitu ada TOP (Take Or Pay Clause yang kerja nggak kerja stroom PLTU IPP tersebut 70% per harinya harus dibeli PLN).
Artinya, dengan lahirnya UU No 17/2019 tentang Sumber Daya Air ini terjadi kenaikan biaya operasi PLTA yang cukup besar, sehingga akan melebihi biaya operasi listrik PLTU, yang semua ini akan berdampak pada kenaikan tarip listrik!
PEMBAHASAN:
Tegasnya, PLTA seperti Cirata dan Saguling akan dibebani biaya air yang lewat penstock dan turbine mereka masing-masing sebesar Rp 100 Milyar per tahun ke sebuah BUMN pengelola air di hilirnya. Inilah UU yang berbau "ugal-ugalan" atau barbar tersebut!
Bagi PLN sih, gak masalah, toh akhirnya akan membebankan ke masyarakat konsumen/rakyat! Tetapi, dalam kondisi rakyat banyak yang terkena PHK (contoh Indosat, pabrik Garment, textile, dll), pensiun PNS akan dipotong 300 ribu, karyawan tetap BUMN maupun swasta akan dipotong 50% pesangonnya (RUU Omnibus Law), banyaknya pajak bahkan knalpot pun akan dipajakin? Kok, tiba-tiba ada kebijakan berupa Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang kelistrikan? Lagi pula dari hitung-hitungan dagang, cost apa yang dikeluarkan BUMN tersebut, kok kemudian ambil profit ratusan milyar per tahun dari PLTA yang ada di "Catcment Area"nya?
Ini semua jelas hanya merupakan "modus" korupsi di lingkungan Pemerintah/Kementerian terkait yang dilegalkan secara Konstitusional!
Sudah saatnya rakyat dan unsur terkait melakukan "Judicial Review" UU No 17/2019 tentang Sumber Daya Air agar selanjutnya tidak dengan "gampang"nya para "oknum" pejabat Pemerintahan ini meraup uang rakyat dengan "modus" seolah-olah hasil kinerja yang syah karena berdasar Undang-Undang!
Bandung, 22 Februari 2020, ditulis oleh Ahmad Daryoko, Koordinator INVEST.