Jakarta, KlikAnggaran.Net- Pada 24 Mei 2016 yang lalu, saya berkesempatan menjadi moderator seminar di Museum Kebangkitan Nasional Jakarta, menemani KH. Solahuddin Wahid dan Dr. Erwiza Erman untuk membahas ketokohan KH. Hasyim Asy'ari. Seperti biasanya, walaupun seminar dijadwalkan dimulai pada pukul 09.00, Pukul 08.15 saya sudah tiba d ilokasi seminar.
Saat menunggu waktu seminar saya bertemu tamu spesial, adik dari Gus Solah, yakni Gus Umar Wahid. Gus Umar banyak bercerita hal-hal terkait Mbah Hasyim serta rencana pendirian Museum KH. Hasyim Asy'ari di Jombang.
Dari sekian banyak hal yang diceritakan dalam waktu satu jam, ada satu cerita menarik mengenai ayahandanya, KH. Wahid Hasyim, saat menjadi Menteri Agama. Gus Umar Wahid mendengar kejadian tersebut langsung dari cerita ibundanya, Nyai Solichah. Ceritanya adalah sebagai berikut:
Ketika KH. Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama (1950-1952), KH. Wahid mengusulkan agar membaca ratib menjadi persyaratan orang yang mau berangkat haji. Usulan itu kemudian mendapat respon dari parlemen, sehingga KH. Wahid dipanggil ke parlemen untuk menjelaskan dan mempertanggungjawabkan usulannya. Salah satu tokoh yang mengecam keras usulan KH. Wahid adalah Amelz, kawan separtai KH. Wahid di Masyumi (tapi memiliki kecenderungan Islam Modernis). Amelz juga dikenal sebagai penulis biografi HOS. Tjokroaminoto.
Dalam debat di gedung parlemen tersebut, terjadi diskusi cukup panas mengenai rencana sang menteri yang dianggap mengada-ada. Bagaimanapun tidak ada dalil agama yang mengharuskan membaca ratib bagi orang yang ingin naik haji. Kata-kata keras pun terus dilontarkan untuk mengkritik kebijakan sang menteri. Nyai Solichah pun merasa sedih, suaminya menjadi bulan-bulanan debat orang-orang di parlemen, terutama oleh Amelz. Setelah acara tersebut selesai, KH. Wahid dan Nyai Wahid menuju mobilnya untuk kembali pulang ke rumah.
Saat keluar dari gedung parlemen, KH. Wahid melihat Amelz sedang memunggu kendaraan umum atau jemputan. Kyai Wahid kemudian menepikan mobilnya dan mengajak Amelz untuk masuk ke dalam mobil dan diantarkan ke rumahnya.
Di dalam mobil, KH. Wahid dan Amelz mengobrolkan hal-hal lain yang bersifat personal sambil diiringi canda tawa. Tak terbayangkan bahwa setengah jam sebelumnya mereka adalah lawan debat di parlemen. Obrolan itu baru berhenti saat mobil tiba di depan rumah Amelz di wilayah Kramat Lontar.
Melihat peristiwa itu, setelah Amelz turun, Nyai Solichah kemudian bertanya kepada Kyai Wahid seraya kebingungan, mengapa orang yang tadi mencecar Kyai Wahid justru diperlakukan baik seperti itu, malah diantar sampai ke rumah. Dan, Kyai Wahid menjawabnya dengan senyuman saja.
Begitulah cerita Gus Umar Wahid yang bagi saya sangat menarik. Kiranya hubungan antara tokoh nasional di awal kemerdekaan memang sangat profesional. Dapat membedakan antara ranah privat dan ranah publik. Perbedaan sikap dan pandangan politik, tidak mempengaruhi hubungan personal yang nyatanya tetap hangat dan baik.
Bagi kita sebagai generasi penerus, tentunya sikap ini perlu kita tiru. Tidak ada alasan untuk saling bermusuhan karena perbedaan pandangan politik. Debat dalam ranah politik dan kenegaraan, apabila didasarkan kepada pembelaan kepada rakyat tidak akan melahirkan permusuhan apalagi penyebaran kebencian. Bagaimana hubungan para elit nasional hari ini? Tentu kita merindukan kehangatan sikap KH. Wahid Hasyim dan Amelz.
Humaidi, 29 Mei 2016